Selasa, 08 Oktober 2013

Selamat Jalan sayang



Hai dear,

Saat menceritakan ini perasaanku sudah jauh lebih lega dari hari-hari kemarin. Hari ini tepat seminggu kepergiannya.  Selamanya Ia menurutku masih terlalu singkat. Semua terjadi begitu cepat, bahkan aku masih belum mendengar Ia memanggil namaku , membandingkan dengan lafal keponakan-keponakanku yang lain, yang tak pernah seragam dan benar memanggil namaku. Ia belum lagi mau ku ajak jalan-jalan tanpa mamanya. Bukan penyesalan apa yang ku utarakann ini, karena aku sadar tak ada yang luput dari campur tangan-Nya, ini adalah waktunya tidak lebih cepat, tidak juga terlalu lambat.

Untuk anak, adik, cucu, keponakan, sepupu dan orang-orang yang mengenalnya, sosoknya begitu menggemaskan. Kehilangan ini seolah milik bersama. 

Banyak yang bertanya kejadiannya seperti apa, aku tertegun karena aku ragu memulainya. Karena memang tak mengerti sejarahnya, menjawab semampuku walau terkadang ku merasa jawabanku tak memuaskan.  

Itu yang ku rasakan, lain lagi adik manisku. Yang menurutku memperhatikannya lebih dari yang lainnya. Apapun bisa dibelinya untuk keponakanku itu.  Yah memang si kecil ini lahir di bulan yang sama dengannya, bahkan hanya berbeda beberapa hari. Banyak hal yang ingin dilakukan bersama dengan si kecil ini,  yang belum mampu direalisasikan dan membuatnya sangat terpukul. Mendengar kabar kepergian si kecil membuatnya histeris. Mungkin ini juga yang dihindari kakaku lalu memilih untuk menghubungiku lebih dulu untuk mengabarkan duka itu bukan adik ku padahal baru setengah jam sebelumnya adikku mengupdate kabar si kecil.

Sedang Bunda lebih tenang, karena sudah punya rasa akan ditinggal sejak melihatnya dirumah sakit. Untuk membuat semuanya juga lebih tenang.  Memastikan adik ku tidak berlebihan, membujuk agar kembali ke kesadarannya. Menguatkanku yang dilihatnya hanya diam membiarkan air mata mengalir tanpa isak bahwa semua ini sudah ketentuan-Nya, jangan dihubungkan dengan apapun. Aku merasa luar biasa sekali seorang Bunda, mengerti apa yang dirasakan anaknya bahkan dalam diamku. Takut tangisku pecah ku hanya menunduk-nundukkan kepala mencoba memberitahunya aku mengerti.
Yang disini, yang hanya berjumpa dengan si kecil beberapa jam dalam sebulan bisa merasa begitu kehilangan apa lagi kedua orang tuanya. Bagaimana mereka menjelaskan kepada dua kakaknya yang menunggu dirumah, berharap adiknya kembali pulang dan bisa mereka ajak bercanda. Bukankah akan lebih berat. 

Saat adikku mengupdate keadaannya, kondisi si kecil sedang kritis. Adik dan aku memutuskan untuk kembali ke RS saat itu, padahal baru saja mendaratkan kaki dirumah sejak pagi berada di RS. Menyempatkan membersihkan diri, bertemu dengan-Nya dulu. Menghubungi orang-oarang yang bersedia mengantar, ternyata jeda waktu 30 menit terlalu lama. Sampai kabar duka itu ku terima, Adikku lalu bertanya kita masih ingin kesana? Yang ku jawab “aku iya”. Karena menurutku meninggal bukanlah akhir dari semuanya, akan ada urusan-urusan yang harus diselesaikan. Si kakak dating tepat waktu padahal  ku tau Ia pasti sangat lelah, membersihkan diri sekedarnya berganti pakaian sebelum langsung melanjutkan perjalanan dan masih sempat mengingatkan untuk  membawa jaket “jaketnya jangan lupa kita ga pulangkan”. Oh my God, bahkan aku pun belum berpikir kalau sampai tidk pulang, Bunda pun memastikan apa yang didengarnya “Jadi ga pulang emangnya”. Yang ku jawab sekenanya “bisa jadi”. Sampai disana semua sudah tersetting selayaknya ada duka, kekompakan lingkungan yang ku acungi jempol. 

Mendapati kakaku yang biasanya cengeng bisa berusaha setegar ini, aku terenyuh. Dalam benakku jangan juga aku menangis disini. Masku sudah berada disana lebih dulu ternyata, menggoda kenapa lebih cepat dia yang sampai. Belum lama meletakkan pantat  nak membuka surat yasin, aku diajak bicara si mas. Membicarakan seputar pemakaman si kecil, ketua lingkungan disana seorang perempuan dan luar biasa peduli bahkan masyarakatnya juga peduli. “terimakasih ya Allah atas kemudahan ini”, si mas dan si kakak ada dikiri-kananku saat si ibu menjelaskan semua keperluan si kecil. Si mas memang selalu gitu menganggapku adik laki-lakinya sampai-sampai menurutnya hal seperti ini aku harus tau sedang si kakak membiarkan ku melakukan sesuatu untuk membantu, tidak mencegah atau mengintrupsi siap pasang badan untuk membantu. Si mas harus pulang karena anaknya akan ga tidur kalau dia ga pulang, besok pun harus kerja karena belum berstatus karyawan tetap dan akan mengusahakan datang lagi sebelum pemakaman. Si adik inginnya pulang besok pagi-pagi baru datang. Si kakak dengan legowo bilang “ya sudah kita saja, kalau besok ga akan kekejar, kasihan yang disini” (Nikmat mana lagi yang kamu ingkari).

Aku ga tau apa yang ku lakukan benar atau salah, tepat atau tidak, semua menerima atau tersinggung. Melangkahi siapa atau tidak, saat itu. Yang ku pikir hanya perjalanan si kecil kembvali pada-Nya lancar tanpa rusuh, orang tuanya focus untuk melepas kepulangan si kecil tanpa memikirkan hal-hal yang mengikutinya. Aku bersyukur untuk semua hal yang terjadi hari itu, semua jalan dipermudah atau memang orang-orang yang membantuku luarbiasa. Malam itu juga semua dibikin deal, si ayah bilang terserah waktunya kapan si ibu terserah si ayah, no way! Ku bilang kalau bisa (*harus) pagi.  Kekeuh minta bantuan si RT buat urus, karena si ibu dan si ayah masih berkedudukan di Pinang secara administrasi maka harus ada surat yang harus diurus, dan memang sudah ku perkirakan sebelumnya. Bahkan aku sempat berpikir untuk siap menyiapkan tempat disini kalau ada penolakan, ternyata tidak. setelah bicara banyak dengan si RT, maka semua berjalan dengan alurnya. Si RT bersedia membeli rangkaian bunga di pasar kembang rawa belong (sebenarnya ingin pergi sendiri tapi ga tau dimana tepatnya, ngubek-ngubek pasar malam-malam? Serahkan yang lebih berpengalaman). Si RT atur jadwal buat yang mandiin si kecil, booking ambulance dan waktu untuk ke TPU rawa kopi setelah deal siapa yang bertanggungjawab (bisa diterima).

Pagi begitu cepat datang, aku berpikir kalau aku akan kuat melihat si kecil masuk ke liang lahat. Si kakak selalu mengingatkanku untuk tidak tersedu karena tiap kali terisak aku akansulit bernapas dan itu sakit sekali efeknya sampai kemana-mana. Jam enam sekian menit, tak lagimemikirkan mandi bahkan sarapan sama-sama pergi ke TPU untuk cari tempat dan urusan administrasi. Kembali harus bersyukur si RT punya chanel begitu luas, hingga tak terlalu sulit. Urusan negosiasi ku serahkan ke si kakak, aku Cuma ingin si kecil ada ditmpat yang layak. Ga lama urusan disana, kembali ke rumah si kecil sudah siap dimandikan. Waktunya juga semakin dekat untuk ku melihatnya.  Melihatnya wajah bulatnya untuk terakhir kali. Kilasan apa saja yang terjadi bersamanya menyeruak, terlebih hari itu aku menemaninya saat berada di IGD , saat pertama kali melihatnya, memegangnya aku sudah begitu takut karena begitu dingin tangannya. Aku lebih takut saat dititipi bersamanya, mesin cardionya melambat. Saat menemaninya masuk ruang PICU.  

Sekali lagi aku harus bersyukur, si kecil dapat tempat yang mudah dijangkau saat berziarah. Dibawah pohon juga. Semoga pohon itu bisa terus bersholawat untuk si kecil. Saat diliang aku masih sempat melihat wajahnya, ku pikir begitukah wajah orang yang pulang ketempat-Nya tanpa dosa? Begitu bersih, damai. Akan sedamai itukah wajahku nanti saat terkhirku.

Selamat jalan saying kecilku, semoga kita dapat berjumpa di Jannah-Nya yang indah.