Hai
dear,
Saat
menceritakan ini perasaanku sudah jauh lebih lega dari hari-hari kemarin. Hari ini
tepat seminggu kepergiannya. Selamanya
Ia menurutku masih terlalu singkat. Semua terjadi begitu cepat, bahkan aku
masih belum mendengar Ia memanggil namaku , membandingkan dengan lafal
keponakan-keponakanku yang lain, yang tak pernah seragam dan benar memanggil
namaku. Ia belum lagi mau ku ajak jalan-jalan tanpa mamanya. Bukan penyesalan
apa yang ku utarakann ini, karena aku sadar tak ada yang luput dari campur
tangan-Nya, ini adalah waktunya tidak lebih cepat, tidak juga terlalu lambat.
Untuk
anak, adik, cucu, keponakan, sepupu dan orang-orang yang mengenalnya, sosoknya
begitu menggemaskan. Kehilangan ini seolah milik bersama.
Banyak
yang bertanya kejadiannya seperti apa, aku tertegun karena aku ragu memulainya.
Karena memang tak mengerti sejarahnya, menjawab semampuku walau terkadang ku
merasa jawabanku tak memuaskan.
Itu
yang ku rasakan, lain lagi adik manisku. Yang menurutku memperhatikannya lebih
dari yang lainnya. Apapun bisa dibelinya untuk keponakanku itu. Yah memang si kecil ini lahir di bulan yang
sama dengannya, bahkan hanya berbeda beberapa hari. Banyak hal yang ingin
dilakukan bersama dengan si kecil ini,
yang belum mampu direalisasikan dan membuatnya sangat terpukul. Mendengar
kabar kepergian si kecil membuatnya histeris. Mungkin ini juga yang dihindari
kakaku lalu memilih untuk menghubungiku lebih dulu untuk mengabarkan duka itu
bukan adik ku padahal baru setengah jam sebelumnya adikku mengupdate kabar si
kecil.
Sedang
Bunda lebih tenang, karena sudah punya rasa akan ditinggal sejak melihatnya
dirumah sakit. Untuk membuat semuanya juga lebih tenang. Memastikan adik ku tidak berlebihan, membujuk
agar kembali ke kesadarannya. Menguatkanku yang dilihatnya hanya diam
membiarkan air mata mengalir tanpa isak bahwa semua ini sudah ketentuan-Nya,
jangan dihubungkan dengan apapun. Aku merasa luar biasa sekali seorang Bunda,
mengerti apa yang dirasakan anaknya bahkan dalam diamku. Takut tangisku pecah
ku hanya menunduk-nundukkan kepala mencoba memberitahunya aku mengerti.
Yang
disini, yang hanya berjumpa dengan si kecil beberapa jam dalam sebulan bisa
merasa begitu kehilangan apa lagi kedua orang tuanya. Bagaimana mereka
menjelaskan kepada dua kakaknya yang menunggu dirumah, berharap adiknya kembali
pulang dan bisa mereka ajak bercanda. Bukankah akan lebih berat.
Saat
adikku mengupdate keadaannya, kondisi si kecil sedang kritis. Adik dan aku
memutuskan untuk kembali ke RS saat itu, padahal baru saja mendaratkan kaki
dirumah sejak pagi berada di RS. Menyempatkan membersihkan diri, bertemu
dengan-Nya dulu. Menghubungi orang-oarang yang bersedia mengantar, ternyata
jeda waktu 30 menit terlalu lama. Sampai kabar duka itu ku terima, Adikku lalu
bertanya kita masih ingin kesana? Yang ku jawab “aku iya”. Karena menurutku
meninggal bukanlah akhir dari semuanya, akan ada urusan-urusan yang harus
diselesaikan. Si kakak dating tepat waktu padahal ku tau Ia pasti sangat lelah, membersihkan
diri sekedarnya berganti pakaian sebelum langsung melanjutkan perjalanan dan
masih sempat mengingatkan untuk membawa
jaket “jaketnya jangan lupa kita ga pulangkan”. Oh my God, bahkan aku pun belum
berpikir kalau sampai tidk pulang, Bunda pun memastikan apa yang didengarnya “Jadi
ga pulang emangnya”. Yang ku jawab sekenanya “bisa jadi”. Sampai disana semua
sudah tersetting selayaknya ada duka, kekompakan lingkungan yang ku acungi
jempol.
Mendapati
kakaku yang biasanya cengeng bisa berusaha setegar ini, aku terenyuh. Dalam benakku
jangan juga aku menangis disini. Masku sudah berada disana lebih dulu ternyata,
menggoda kenapa lebih cepat dia yang sampai. Belum lama meletakkan pantat nak membuka surat yasin, aku diajak bicara si
mas. Membicarakan seputar pemakaman si kecil, ketua lingkungan disana seorang
perempuan dan luar biasa peduli bahkan masyarakatnya juga peduli. “terimakasih
ya Allah atas kemudahan ini”, si mas dan si kakak ada dikiri-kananku saat si
ibu menjelaskan semua keperluan si kecil. Si mas memang selalu gitu
menganggapku adik laki-lakinya sampai-sampai menurutnya hal seperti ini aku
harus tau sedang si kakak membiarkan ku melakukan sesuatu untuk membantu, tidak
mencegah atau mengintrupsi siap pasang badan untuk membantu. Si mas harus
pulang karena anaknya akan ga tidur kalau dia ga pulang, besok pun harus kerja
karena belum berstatus karyawan tetap dan akan mengusahakan datang lagi sebelum
pemakaman. Si adik inginnya pulang besok pagi-pagi baru datang. Si kakak dengan
legowo bilang “ya sudah kita saja, kalau besok ga akan kekejar, kasihan yang
disini” (Nikmat mana lagi yang kamu ingkari).
Aku
ga tau apa yang ku lakukan benar atau salah, tepat atau tidak, semua menerima
atau tersinggung. Melangkahi siapa atau tidak, saat itu. Yang ku pikir hanya
perjalanan si kecil kembvali pada-Nya lancar tanpa rusuh, orang tuanya focus untuk
melepas kepulangan si kecil tanpa memikirkan hal-hal yang mengikutinya. Aku
bersyukur untuk semua hal yang terjadi hari itu, semua jalan dipermudah atau
memang orang-orang yang membantuku luarbiasa. Malam itu juga semua dibikin
deal, si ayah bilang terserah waktunya kapan si ibu terserah si ayah, no way! Ku
bilang kalau bisa (*harus) pagi. Kekeuh minta
bantuan si RT buat urus, karena si ibu dan si ayah masih berkedudukan di Pinang
secara administrasi maka harus ada surat yang harus diurus, dan memang sudah ku
perkirakan sebelumnya. Bahkan aku sempat berpikir untuk siap menyiapkan tempat
disini kalau ada penolakan, ternyata tidak. setelah bicara banyak dengan si RT,
maka semua berjalan dengan alurnya. Si RT bersedia membeli rangkaian bunga di
pasar kembang rawa belong (sebenarnya ingin pergi sendiri tapi ga tau dimana
tepatnya, ngubek-ngubek pasar malam-malam? Serahkan yang lebih berpengalaman). Si
RT atur jadwal buat yang mandiin si kecil, booking ambulance dan waktu untuk ke
TPU rawa kopi setelah deal siapa yang bertanggungjawab (bisa diterima).
Pagi
begitu cepat datang, aku berpikir kalau aku akan kuat melihat si kecil masuk ke
liang lahat. Si kakak selalu mengingatkanku untuk tidak tersedu karena tiap
kali terisak aku akansulit bernapas dan itu sakit sekali efeknya sampai
kemana-mana. Jam enam sekian menit, tak lagimemikirkan mandi bahkan sarapan
sama-sama pergi ke TPU untuk cari tempat dan urusan administrasi. Kembali harus
bersyukur si RT punya chanel begitu luas, hingga tak terlalu sulit. Urusan negosiasi
ku serahkan ke si kakak, aku Cuma ingin si kecil ada ditmpat yang layak. Ga lama
urusan disana, kembali ke rumah si kecil sudah siap dimandikan. Waktunya juga
semakin dekat untuk ku melihatnya. Melihatnya
wajah bulatnya untuk terakhir kali. Kilasan apa saja yang terjadi bersamanya
menyeruak, terlebih hari itu aku menemaninya saat berada di IGD , saat pertama
kali melihatnya, memegangnya aku sudah begitu takut karena begitu dingin
tangannya. Aku lebih takut saat dititipi bersamanya, mesin cardionya melambat. Saat
menemaninya masuk ruang PICU.
Sekali
lagi aku harus bersyukur, si kecil dapat tempat yang mudah dijangkau saat
berziarah. Dibawah pohon juga. Semoga pohon itu bisa terus bersholawat untuk si
kecil. Saat diliang aku masih sempat melihat wajahnya, ku pikir begitukah wajah
orang yang pulang ketempat-Nya tanpa dosa? Begitu bersih, damai. Akan sedamai
itukah wajahku nanti saat terkhirku.
Selamat
jalan saying kecilku, semoga kita dapat berjumpa di Jannah-Nya yang indah.