Perjalananku ke masjid pintu seribu tangerang, tanggal 31 Oktober 2010.
Masjid ini ada di Kampung Bayur, Kec.Priok- kota Tangerang. Dekat Pintu air sepuluh, dan harus mau tanya-tanya. Gak ada plank petunjuk jalan yang jelas. Nama Asli masjid ini Masjid Agung Nurul Yakin, katanya dibangun tahun 1978. Lebih terkenal dengan nama Masjid Pintu seribu karena Arsitekturnya, Masjid ini punya banyak pintu, tapi sewaktu ku tanya ke penjaga pintu tentang kebenarannya dia juga tidak tau. Menurutnya tidak ada yang pernah menghitung tapi memang pintu-pintu disana sangat banyak, jadi di juluki masjid pintu seribu.
Aku tau masjid ini dari Bunda, biasanya rombongan pengajiannya sering Ziarah ketempat-tempat seperti ini. Menurut cerita yang ku dapat dari beliau, masuk tempat init uh seperti ada di dalam kubur. Karena tempatnya sangt gelap, sewaktu masuk harus miring-miring karena lorong-lorongnya sempit dan lantainya masih tanah jadi tidak rata harus hati-hati, bisa-bisa terjerembab dan untuk lebih aman baiknya kalau kesana bawa senter sendiri untuk penerangan.
Mendengar semua cerita itu rasanya bukan Aku kalau tidak penasaran. Kok sepertinya mencekam sekali ya.
Minggu pagi berangkat kesana cuma berbekal alamat yang diberi bunda kalau letaknya dekat pintu air sepuluh. Terlalu bersemangatnya hingga terlalu jauh dari tujuan, melintasi persawahan, pabrik plastic tempat teman kampus pernah kerja, ternyata sudah keluar dari batas wilayah kota Tangerang, yang ku ingat tempat itu bernama sepatan. Seperti biasa tersasar bukan lah hal buruk untuk ku. Melihat yang tertangkap mata selama perjalanan kata yangterlintas “Berantakan”. Tata letaknya, bersihnya, bukan memandang sebelah mata mungkin tak terbiasa. Aku berpikir Ini bukan kota besar tapi jalan-jalan disini, gang-gang disini sempit mirip rumah-rumah dibantaran kali di Jakarta . Kok bisa ya, mungkin dulu tak seperti ini. Tapi asik, aku bisa melihat sawah hijau, berangin, melihat laki-laki mendorong traktor sementara aak-anak menerbangkan layang-layang di pematang sawah yang terpikir “Indah”. Setelah bertanya beberapa kali akhirnya sampai juga di Masjid Agung Nurul Yakin.
Memasuki gang dimana masjid tersebut berlokasi, Aku di sapa oleh sekelomok anak yang asik bermain kelereng (Aku tidak pernah lagi melihat pemandangan itu setelah berpuluh tahun menjalaninya, generasi dibawahku terkontaminasi teknologi). Sampai dimuka masjid ku putuskan untuk melihat sekitarnya dulu, setelah itu mendekati pengurus masjid yang jumlahnya tidak sedikit. Dipersilahkan mengisi buku tamu dan diminta mengisi kotak amal untuk perawatan masjid yang jumlahnya tidak ditentukan. Karena Area pemakaman sedang ada yang berziarah akhirnya langsung diantar masuk ke pintu seribu. Tetapi rupanya lagi-lagi harus menunggu karena yang pertama kali masuk belum lagi keluar.
Duduk di ruangan depan ku sebut “lobi” ditemani pengurus masjid tersebut, Pria paruh baya yang nampak tenang sedikit menyeramkan. Darinya aku tau lebih banyak tentang masjid ini dan sepak terjang pendiri dan generasi-generasi keturunannya. Rupanya saat ini pengurus masjid ini telah mengembangkan siarnya sampai daerah bogor dengan mendirikan masjid. Dia menatapku aneh untuk apa datang ketempat ini (dalam hati ku geli juga, “cari wangsit bah”) dilihatnya aku dari atas ke bawah. Kali ini gak salah kostum (pake kerudungan lengkap), tiba-tiba dia bilang “Masih sekolah ya? Sekolah dimana? (wajah ku masih pantas rupanya)”. Sambil terus membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting, ku telusuri setiap sudut dengan mataku. Lobi ini sendiri tidak terlalu luas, kaligrafinya sudah banyak yang rusak, cat-catnya sudah pudar hanya bale-bale keramik yang baru nampaknya, di bagian dalam yang nampak hanya gelap dan yang kurasa dingin sangat.
Akhirnya aku masuk juga, Jalan masuknya gelap dan sempit serupa kata Bunda tapi aku gak miring-miring jalannya (dalam hati sudah terpingkal-pingkal oh seperti ini rupanya jelas saja Bunda harus miring-miring beda ukuran). Ruangan didalamnya seperti labirin, beberapa kali tersandung masih bisa melihat sisi-sisi sepanjang jalan masuk karena masih ada penerangan. Sampai di ujung ruangan terdapat hall yang kata bunda mampu menampung seratus orang dengan posisi duduk merapat, disini yang mengantar akan meninggalkan pengunjung beberapa saat, agar pengunjung dapat khusu wirid, zikir atau sekedar merenung. Sekejap saja semua gelap, seolah semua berhenti, seolah dalam perasingan. Untuk pertama kalinya aku merasa sendiri, benar-benar sendiri (di dunia luar aku masih bisa bicara dengan-Nya dimana saja dalam hati bahkan gumam). Disini aku merasa Dia hanya menatapku, tak seperti biasa menyapa hangat untuk berbincang. Kontan aku menangis, awalnya karena sungguh aku takut akan gelap lalu kemudian aku tak mengerti, aku masih tetap menangis tapi sangat tenang seolah gelap itu bukan masalah. Dalam gelap hanya doa agar kelak kuburku diberinya terang. Lebih dari lima belas menit didalam sana , saat keluar Subhanallah aku bisa merasakan nikmatnya hidup, indahnya warna.
Terima kasih Tuhan.. untuk hari ini, hari-hari yang lalu dan hari-hari kedepan yang Kau beri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda Pikirkan