***
Kemarin perayaan satu tahun pemerintahan dinegara ku, Pesta demokrasi katanya (katanya-katanya, katanya siapa?). National celebration, dari Ibu
Saya tidak berusaha Pro pada pihak manapun atau kontra pada pihak mana pun, Saya sedang berusaha merekam perubahan yang tertangkap mata, menyimpan sebagai cermin pribadi.
Satu tahun kerja yang saya tidak tahu seberapa keras (seharusnya memang sangat keras karena adalah pemegang kunci perubahan yang kasat mata) diberi nilai gagal, mungkin tak semua sepaham akan itu tapi gaungnya tetap saja gagal. Saya tergelitik untuk bertransformer menjadi sosok yang dinilai “E” itu dari yang positif hingga yang negative
“Saya senang, Anda-anda mengingat hari ini tepat satu tahun saya bekinerja untuk Negara kita tercinta ini dan itu juga berarti anda-anda terus memantau kegiatan apa saja yang telah saya lakukan dan selesaikan, kesadaran secara utuh saya rasakan bahwa apa yang telah saya berikan untuk Negara ini mungkin masih jauh dari nilai cukup. Tapi anda-anda harus percaya bahwa saya benar-benar bekerja dan terbuka mendengar apa yang anda-anda keluhkan dan bukan saya tidak menindaklanjuti apa yang menjadi rumor diluaran tetapi kami memang butuh waktu untuk menyelesaikannya dan tidak mudah mengungkapkan apa yang terjadi pada Negara di khalayak umum, mohon anda-anda dapat mengerti hal ini. Saya tidak akan berlindung dibalik sifat dasar manusia yang terkadang lalai, oleh karena itu hadirnya anda-anda untuk mengingatkan saya selalu menjadi hal yang istimewa terutama untuk saya karena semakin banyak masyarakat yang peduli pada arah mana yang akan kita ambil untuk perubahan baik di negeri ini. Salam demokrasi”
Hmmm… atau saya akan berpikir
“Melihat antusias pendemo Saya jadi punya ide untuk memfasilitasi mereka, sediakan tenda-tenda dimana mereka akan mengelar demo lalu berikan setiap tenda fasilitas yang berbeda. Bukankah kita akan bisa melihat nilai demokrasi yang mereka junjung-junjung itu, mampukah solidaritas mereka bekerja dibawah tekanan fasilitas, yang berfasilitas nyaman maukah untuk berbagi dengan yang lainnya? Atau yang minim fasilitas mampukah mereka ikhlas menerima dan membiarkan yang lain menikmati kenyamanannya sendiri? Masih konsentrasikah mereka meneriakkan kata kegagalan ke mata dunia. Dan Saya akan menjadi tuan rumah yang ramah”
Atau
“Saya akan terbang ke Negara A bukan? Pada saat mereka bersama-sama demo. Pantau apa saja yang mereka katakan. Siapkan pidato kenegaraan jika diperlukan, Saya ini pusing memikirkan ini dan itu sedang mereka hanya pusing memerhatikan gerak-gerik saya. Masih muda tau apa mereka”
Membacanya sendiri Aku kok tergelak, mana mungkin ada yang berpikir sekonyol apa yang sedang Ku pikirkan.
Memasuki ruang pikir yang ada dibawah sebagai pendemo yang ku bandingkan dengan cerita seorang teman lama yang mungkin tak jauh berbeda kondisi. Penampuk jabatan di BEM selalu yang pertama kali sibuk mengkonfirmasi BEM universitas lain membuat sekutu, membuat
Banyak kepala yang terlibat seolah sepakat satu suara. Masa sih….?
Bukan meragukan kredibilitas pendemo, mungkin banyak yang mengerti apa yang mereka katakan dan teriakan tapi gak mau tutup mata yang gak tau apa apa dan atas nama solidaritas turun kejalan. Dua benda serupa tidak lah sama.
***
Semua kepala dibuat khawatir secara pribadi takut demo berakhir anarkis dan memang iya dan selalu menyisakan persoalan baru.
Kita jalan-jalan sedikit kedalam kepala ku yuk, yang berorientasi pada ku
Aku benci demonstrasi, bukan sia-sia hanya tidak efisien dimata ku. Bukannya gak sedikit yang sekarang ada di atas dulu juga aktif berteriak-teriak. Kalau saja paparazzi berlaku adil gak sedikit kok yang duduk-duduk dipinggir trotoar mengepul rokok, hanya memeriahkan demo dan paling gampang tersulut emosi. Belum lagi pendompleng-pendompleng bayaran yang memang bertugas menyulut masalah, ironis.
Berteriak-teriak, mengoreksi banyak hal, mengungkapkan apa yang ada dikepala mereka disebut idealis, yang saya rasa harusnya bisa juga memberi masukan penyelesaiannya. Berorientasi hasil pasti banyak kepala setuju dengan apa yang mereka teriakan bahkan mungkin yang sedang di teriaki pun inginnya seperti itu. Yang diteriaki bukankah bisa lebih bijak, melunak berbagi pencapaian pada public. Bukankah banyak media yang bisa dipilih.
Bakar ban ditengah jalan, bakar foto, apa tujuannya? Gak ngerti. Apa dengan membakar ban dimaksud untuk menyulut semangat berorasi. Kalau iya miris, klo memang api bisa membakar semangat jangan bakar ban yang disiram air seember padam, bakar saja gedung bukankah lebih besar api yang akan tercipta, tapi jangan demo lagi kalau nanti ada anggaran perbaikan sarana-dan prasarana yang fantastis (pasti ingin update mode property dong ). Bakar foto apa fungsinya, emang kalau bakar fotonya orangnya juga bisa kesakitan karena panas? Kalau bisa aku setuju banget tuh, biar bisa jadi warning biar klo ambil keputusan yang mengarah kepentingan rakyat. Tapi toh nyatanya enggak gitu, orangnya baik-baik saja. Atas nama kehormatan, maka separator-sparatornya marah tak terima. Dimaklumi, kalau dinegara sendiri saja tidak dihargai apa lagi di Negara orang.
Saat demo, mana pemikir-pemikir yang mendukung go green, mana yang mempraktekan safe our earth, gak ada semua teori mereka setuju pembakaran ban yang berarti menaikan suhu. mereka setuju membakar foto yang menyisakan sampah. menggunakan badan jalan, ciptakan kemacetan meningkatkan emisi gas buang. Menuntut penyelesain msalah dengan membuka masalah baru.
Demo tanpa kekerasan, pasti kurang seru, kurang cerita untuk dibagi, kurang bahan untuk dikaji. Dorong-mendorong aparat keamanan dan pendemo bukan hal baru, mengoyak pagar instansi pemerintah mulai menjadi tindakan wajar. Gak sadar mereka kalau hal itu merugikan rakyat juga, bukankah dinding dan pagar itu dibangun dari uang rakyat? Sedang mereka belum lagi berpenghasilan hingga dapat dikenakan pajak penghasilan. Geregetan kalau uang yang ku sumbangkan untuk Negara hanya untuk dirusak, tapi lebih kesal kalau uang yang kusumbang masuk kedalam perut-perut tamak. Kekerasan akan mendapat protes dari lembaga hak asasi manusia yang terkadang tidak mau peduli siapa yang menyulut yang dilihat selalu korbannya (memang kadang-kadang yang menjadi korban itu yang tak bersalah), Paparazi menyorot kekerasan dengan ekstrem pemberitaan-pemberitaannya memenuhi layer kaca, ibu-ibu protes pada lembaga pertelevisian atas penayangan itu (takut berdampak pada stabilitas mental anak-anak) dan pemberita berkelit sudah seharusnya kita tahu dan melihat, ini adalah kebebasan pers (yang aku tak ngerti, biarlah bukan kapasitas ku).
Gimana kalau pendemo diberi ruang bicara, buat bilik suara (model “the box”-nya ochanel), jadi kita bisa liat seberapa banyak orang yang bener-bener mau protes dan ngerti apa yang diprotes (profil merekakan ke safe tuh). Gila, gak yakin bakal sesemarak belakangan ini. Atau setiap pendemo terdaftar dan memiliki ID untuk berdemo begitu juga yang bertugas mengamankan, pasang CCTV dan kenakan sangsi pada yang benar-benar salah. Lebih gila nih otak sepertinya.
Kenapa tidak belajar mengoptimalkan kapasitas diri, berjalan mantap sesuai dengan keyakinan yang diyakini. Mengontrol diri (*kata uya-kuya “katakan yang ingin anda katakan jangan katakan jika dirasa tidak perlu dikatakan”)
Aku rasa sudah terlalu banyak bicara, ngantuk, ingin terpejam bermimpi hari esok lebih baik.
Malam, 21 Oktober 2010