Kamis, 14 Oktober 2010

Ambisi====>Ambisius

Curi dengar pembicaraan dua orang yang mapan secara usia lepas makan siang. Keduanya rekan kantorku, dua orang dengan gender berbeda dengan sejarah hidup berbeda. Si wanita ,ibu dari satu orang putra yang berusai kurang lebih delapan bulan, yang memiliki sejarah hidup yang menurutnya penuh dengan kepahitan, emosional, meledak-ledak, rapuh, selebihnya relative. Si pria adalah sosok tambun yang sedang menanti jabang bayi di kandungan sang istri, dari sikap dan yang nampak saat ini, wajar jika banyak mata memandang sejarah hidupnya menyenangkan dan tercukupi, plin-plan, sesuka hatinya, comel, lagi-lagi selebihnya relative.

Berbincang dari A sampai Z, dari hal-hal sepele hingga berbobot, dari santai sampai perang urat. Ya begitulah, sewajarnya perbincangan pada umumnya. Aku hanya diam tidak terlibat percakapan bahkan bukan seorang pendengar, yang ku lakukan hanya mencuri dengar. Mendengar percakapan mereka membuat saraf-saraf kepalaku bekerja, berbagai ekspresi keluar yang tak dilihat siapapun bahkan mungkin tak terlihat.

Yang membuatku teringat percakapan mereka hanya satu kata, ya hanya satu kata. Kata yang mungkin memiliki power luar biasa, yang lebih sering dihindari oleh orang –orang yang low-power agar tak terlihat egois. Kata yang membuat pikirku tertarik kekanan dan ke kiri, keatas-kebawah. AMBISI..

Aku ingin membawamu dalam ruang pikir ku, tapi Aku ingin kamu ikut mendengar percakapan ini

***

….

Si wanita : Ka nak dari dulu ka kan seneng, cobe ka inget masih waktu sakoleh dulu nian ka naik Honda ku masih naik oto beleberbeleber nue angin

(kamu enak dari dulu senang, coba kamu ingat waktu sekolah dulu kamu sudah mengendarai sepeda motor *biasa orang dalam sebut brand, Aku masih naik angkutan berangin-angin)

Si pria : ka nih pacak bai, yang ku pake Honda lame lah…. Itu punya apa, la gitu ade pula… same lah kite. Sakarang ka udeh begawe pacak beli due..hahhhaahaha

(kamu ini bisa saja, yang ku pakai sepeda motor lama… itu punya papa, sudah begitu ada juga… samalah kita. Sekarang kamu sadah kerja bis membeli sendiri…hahahahaha)

Si wanita : gimane bise same, ka dari dulu sampe sekarang seneng terus.. ku begawe buat makan lah..ka begawe buat ape lah ..buat seneng-seneng

(Bagaimana bisa sama, kamu dari dulu sampai sekarang senang terus.. au kerja buat makan.kamu kerja buat apa juga…buat senang-senang...)

Si pria : same lah..ku begawe juga buat makan.. klo lebih ya bonus..persiapan lah Ci..buat anak kelak

Si wanita : ka je mikir gitu.. ape lagi ku…tapi ku pacak bingung, ade je orang ambisius dah kayak nek lebih-lebih gi….

(kamu saja berpikir begitu, apalagi aku..tapi aku bingung, ada saja orang ambisius sudah kaya masih ingin lebih-lebih lagi..)

Si Pria : hahahaha…. Wajar aja, kan orang hidup itu banyak inginnya. Kayak bos ini sekarang di getol cari duit mungkin dia lagi nyiapin buat anaknya kalo kuliah ke luar negeri

Aku suka *orang hidup banyak inginnya

Si wanita : iya… ku ngertilah tapi kan banyak yang sikut kiri-kanan biar sukses

Si pria : ka nih…itu sih bukan itu bukan sekedar ambisi tapi serakah

*serakah

***

Sesuatu yang baru menyelinap dalam ruang pikir ku, ternyata kemapanan usia tidak dapat memastikan kematangan pola pikir seseorang. Pengalaman mungkin itu kunci, tapi pengalaman seperti apa? Bukankah tubuh-tubuh lebih banyak terkungkung oleh tempat dan waktu, lalu kemanakah jiwa, ruh yang haus akan keingintahuan. Seperti si pria yang cukup mampuni dalam teori tapi tak cukup bijak dalam bertindak, si wanita tak cukup tau apa yang ia katakan tapi dapat mengatur diri dalam bertindak bukan karena hati-hati tapi takut, iya takut akan pergunjingan sosial, dan lain sebagainya.

Malamnya aku berpikir kata itu tak ada statement yang keluar, hanya berkutat pada obrolan mereka siang tadi. Ku sisihkan apa yang ku pikir dan ku ajak bicara bayangan seorang kawan dalam benakku “Setiap kepala pasti punya ambisi bukan?” dan aku yakin jawabnya “iyalah, hidup kali” setelah itu semua menduga-duga. Sebenarnya ingin mendengar apa katanya tentang ini, tapi masih inginkah Ia bertukar pikir dengan ku, Aku ragu. Melayani pembicaran yang tak penting dengan ku barangkali bukan hal yang diinginkannya. Harusnya aku bisa bicara dengan banyak orang diluar kepalaku, tapi aku enggan membicarakan hal-hal seperti ini dengan orang diluar kepalaku atau bukan dengannya. Bukan berarti yang lain tak bisa berpendapat, tetapi tak sedikit dari mereka lebih berpikir kearah mana aku akan membawa pembicaraan, semua jadi terkesan hati-hati. seringkali yang kudengar bukan jawaban dari kepalanya tapi pandangan secara umum masyarakat, sedang kawanku begitu berbeda, mungkin pernah juga atau mungkin sering juga dia berpikir untuk apa pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga tak ada awal atau akhir terlontar dari mulutku tapi caranya menyikapi beda yang dia katakana yang dia tau yang dia rasa, atau mungkin benar karena dia belum kenal aku. Sampai saat ini dia kawan yang dapat memberi tahuku hitam atau putih secara gamblang dan membuat pikirku terlucut semakin jauh. Yang kalau katanya “jadi kemana-mana”

Aku kasih tau salah satu bedanya bicara dengan kawan ku itu dengan yang lain diluar kepalaku.

Minggu sore kupacu kuda merah tak bergigi ke arah masjid bani umar, dikepala masih beterbangan kata ambisi. Ku putuskan untuk bicara ke Nyonyo ini penggalanya:

“Nyo? Kamu tau maksud kata ambisi?”

Jawabnya “ada apa, kok tanya gitu?”

“gak apa, ingin dengar dari nyonyo aja? Bisa jawab dong?”

Jawabnya “hmm… sesuatu yang kita inginkan”

“Apa ambisi nyonyo ? gak usah untuk hidup nyonyo, cukup diwaktu-waktu dekat aja”

Jawabnya “gak tau..gak ada kali..bingung”

“Nyonyo bilang sesuatu yang kita inginkan, semua yang hidup pasti punya keinginankan? Termasuk nyonyo. Kalau ku tanya apa inginnya nyonyo, pasti bisa jawabkan”

Jawabnya “iya, habis bingung kalau ditanya ambisi”

“hahahahaha… nyonyo bukan bingung tapi takut, takut karena kata itu arogan. Nyonyo punya ambisi tapi nyonyo gak mau dibilang ambisius.. ya sudah yang penting nyonyo tau apa yang nyonyo mau” *hanyut dalam keheningan diruang pikir masing-masing sebelum memulai topic ringan yang baru

Aku gak bisa liat ekspresi wajah nyonyo waktu kalimat terakhirku terucap, tapi dari spion kuliat garis lurus di bibirnya seolah menelan pil pahit yang ku asumsikan setuju dan tak tersinggung oleh ucapku.

Bisakah kau tau bedanya saat ini?

Aku masih bergrilya menyusuri statement-statement yang meluncur dari mulutku sampai jauh malam. Menarik mundur ingatan saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, saat diri di cap ambisius sedang kata itu masih asing ditelinga bahkan tak berpikir akan itu. Saat aku mencoba memposiskan diatas dibaning yang lain dan tetap bertahan disana sampai lepas masa didikku. Aku diakrabi cap egois dan ambisius yang dulu tak ku ambil pusing karena bukan hal penting saat itu, tapi sekarang malam ini aku bisa tergelak, menyeringai mungkin pipi ini memerah karena wajahku terasa panas. Aku hanya berpikir Iyakah gadis sekecil itu? Aku pun terkesima, gadis sekecil itu bisa tidak peduli ya bermain, memberi, menerima tak ada yang membebani atau mungkin karena tak mengerti. Tapi bukan tak mengerti kurasa, tak menghakimi diri apalagi orang lain membuat diri lebih bisa menerima apapun secara netral dan penuh syukur. Mungkin saat itu ia tau kenyataan yang harus dikejar dan yang tidak nyata dapat dibuat nyata, prestasi, kepercayaan, pergaulan dan kenyamanan.

Mungkin saat ini label itu tak hilang atau semakin parah. Karena sikap ku, tutur ku, atau mungkin memang sudah menjadi pribadiku, ntah lah. Ku hanya akan berusaha tetap dijalan-Nya. Bukankah hanya makhluk lemah yang tak punya ambisi. Bukan salah ku jika apa yang kuinginkan kudapatkan dan kamu bukan apa-apa.




Catatan malam seorang kawan ,
Minggu, 10 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda Pikirkan