Kata kawanku "senyumku punya banyak arti" dan
menanggapinya pun aku hanya tersenyum.
Terpikir sebanyak apa
teka-teki tentang ku dikepalanya. Padahal yg kurasa sederhana, ga serumit
demokrasi di Negara ku, yang karena demokrasi menciptakan puluhan partai.
Tahun lalu hutang
penjelasan tentang sombong. Aku kaget ga tau harus bicara seperti apa saat
pertanyaan "sombongnya dimana". Bingung ya, baiklah ku jelaskan.
Ingat ga tulisanku di Desember lalu karena temanku ada yg melangsungkan resepsi
pernikahannya.
Walau aku sudah
menjelaskan bersamaan dengan itu, kalau mungkin aku yang tak terbiasa dengan
cara berkomunikasi teman-teman. Yang dibantahnya dengan bilang "kasih tau
temen-temenmu yang lain, yang menurutmu ga sombong". Ak tersenyum,
tersentak juga, memutuskan untuk tidak menjawab, malah digoda untuk menjawab
pertanyaannya disini. Baiklah kuterima tantangannya, sudah dimaklumi minta
ditampar rupanya. Ak tak senang berpenampilan mengikuti jaman yang tidak
membuatku nyaman, yang menurut teman-teman kuliah berantakan, ndeso, ga gaul
dan mungkin kehidupanku sama berantakannya seperti tampilanku. Sebenarnya bebas
kalau mereka hanya berpikir saja dan tidak dibagi sampai terdengar olehku, ga
akan marah juga sih tau kenyataan seperti itu. Tapi ga bisa dipungkiri kalau penasaran
dan ingin melihat lebih dekat yg sanggup menilai seperti itu sangat besar
(dalam bahasaku mungkin sebuah pembuktian). Kamu mau tau bedanya, dalam
penampilan yang sama ak ga pernah dapat masalah dalam bergaul, mereka mungkin
menilai tp tak menghakimi, karena berteman bukan sekedar sama dalam penampilan
atau sama dalam berucap ( menilai, berpikir itu hak pribadi masing-masing, saat
diutarakan ke orang lain, tanpa mengerti kondisi menurutku itu sombong).
Kira-kira begitu
kondisinya untuk menjawab pertanyaannya.
Saat dengar
pembelaannya pada temen satu itu, sebenarnya ingin bilang "Please deh, jgn
dangkal" tapi takut lihat wajahnya. Kalau marah aku bisa terima tapi kalau
memerah, ak ga tau mau bereaksi seperti apa.
Ga ada maksud
mengecilkan apa yang dia sudah usahakan untuk dia dan keluarganya dan ga
berniat merusak perkenalan ku dengan dia yang memang hanya sama-sama kenal.
Hanya ingin kawanku mengerti, ini bukan suksesnya dia dimata kawanku dan
keluarganya menjalani tanggungjawab sebagai tulang punggung keluarga. Seperti
yang sudah ku katakan "tanggungjawab yang kita terima ga akan melebihi
kemampuan", lagi pula seperti kata kawanku "semua ada campur tangan
Tuhan".
Aku bersyukur hidup
dengan mengenal teman-teman yang mengerti tanggungjawab dan tetap santun. Aku
ga asal bicara, sebut Deni teman se masa SMA dulu. Anak tertua dengan single
parents, mampu selesaikan pendidikan strata 1 dengan biayanya sendiri, tidak
sampai disitu dia juga mampu membiayai adik perempuannya yang menjalani
pendidikan kebidanan, yang membuatku iri dia mampu menapaki pulau-pulau di
Indonesia. Ga ada penilaian kurang menyenangkan dari teman-teman yang lain akan
dirinya. Dan seseorang yang dekat dengan ku saat ini anak pertama dari 4
bersaudara dengan Bapak pensiun, mau mengambil tanggungjawab membantu kehidupan
keluarga bukan sekedar karena diminta, bisa membuat tempat tinggal nyaman untuk
keluarganya, menyiapkan kehidupannya sendiri, membantu orang"
disekitarnya, yang hanya bepikir karena saat ini bisa belum tentu nanti juga bisa.
Walau tak ku pungkiri banyak juga teman-teman yang memamerkan apa yang
dicapainya saat ini, walau pencapaiannya atas sokongan banyak orang, ga apa- ga
masalah juga buatku, toh yang dipamerkannya miliknya dan nyata.
Setiap kita punya
alasan untuk sombong, Manusiawi. Membicarakan kelebihan diri sendiri dan nyata
menurutku bukan sombong. Tapi membicarakan ketidak mampuan seseorang hanya
dengan melihat itu sombong. Maaf, mungkin sekali lagi masalah kebiasaan.
Untuk semua kepala
yang mau bertanggungjawab atas kehidupannya, semoga setiap langkahnya disertai
Allah swt. Untukku semoga semakin bisa rendah hati dan untuk kawanku semoga
dapat melihat dari lebih satu sudut pandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda Pikirkan