Mengomentari seseorang yang katanya mengalir, lewat bibir kecil tanpa suara. Dia yang menurutku tidak mengalir begitu saja, pasti terkontaminasi banyak hal, sampah, limbah mungkin zat penjernih kimia. Dia, yah dia yang membuatku tak habis pikir, yang mungkin jika kami mengalir bersama belum tentu berlabuh dimuara. Melihat atom-atom yang mengisi diri ku dan dirinya sangat berbeda, yang mungkin bependar untuk sesaat lalu jenuh. Atau … ntahlah
***
31 Desember 2008, awal kali aku berbincang dengannya tanpa topeng. Hahahahaha … mungkin sedikit berlebihan tapi nyatanya itu yang kurasakan. Menanggalkan busana arogansi, atribut basa-basi dan jujur untuk sesaat terasa canggung. Aku tau akan dia jauh hari sebelum aku mengenalnya saat berhadapan hari itu, yang juga belum bisa di katakana kenal.
Aku menanyakan apakah Ia mau sholat magrib yang saat itu di anggapnya sebagai ritual yang belum dia butuhkan. Yang sudah ku duga akan seperti itu jawabnya, ku pikir karena orangnya dimuka ku kenapa tidak ku dapatkan penjelas darinya langsung – bukan yang lain (menganggap ada celah aku tak merasa sungkan bertanya lebih jauh, walau dari matanya banyak kebingungan terpancar. Mungkin dipikirnya aku terlalu lancang atau mungkin malah tidak mengira kenapa aku tertarik (terakhir ku tau dia merasa aneh)).
Terlalu banyak pertanyaan kenapa waktu itu, seolah terlalu banyak yang aku tau atasnya. Aku melihat caranya mengumpulkan banyak kata yang tak banyak terucapkan penuh gerak yang tidak dibutuhkannya (garuk-garuk kepala).
“Aku islam karena orang tuaku islam, dan belum berani ngapa-ngapain. Takut aja… sebenernya agama itu kan yang ciptain manusia, emang kamu tau apa yang kamu yakini. Belum masuk akal tuh ritual-ritual yang ada, nyanyi-nyanyi di gereja buaaat apa! Terus sembahyang! Percumakan! banyak tuh yang ke gereja yang sholat tapi juga bejat”
Aku dengarkan dia bicara panjang lebar, yang ku rasa caranya mempertahankan diri. Andai saja kata-katanya tak bimbang, sanggup bilang “aku tak butuh aturan-aturan itu”. Semua selesai, tapi tidak. Semua yang didirinya serba setengah.
“Aku belum bisa kayak temenku dan mamanya, yang gak peduli apa kata orang. Tapi tetep bisa ngehargai orang-orang itu. Yang ber-Tuhan walau gak beragama, Kalau Tuhan emang ada satu kenapa mesti ada ritual yang beda-beda. Manusia kan yang mendeskripsikan Dia dengan caranya masing-masing. Aku pingin kayak gitu”
Mendengar setiap kalimat yang keluar darinya, aku terkikik juga, tak pelak kata aneh sering terlontar. Buat ku aneh ada manusia yang masih ngeja tapi ingin bersyair. Umur nya buat ku gak terlalu muda, tapi cara pikirnya buat ku tercengang gak habis pikir. Diantara bombardir kata yang terlontar dari mulut ku ada hal yang coba dia cerna (ntahlah atau mulai muak dengan cara bicaraku).
“Nanti, nanti, nanti, tapi gak saat ini”
Dan belum lama ini,
Dipenghujung tahun, Desember 2010 duduk bersama berbicara hal remeh temeh untuk cairkan suasana. Aku tak mampu bilang dia berubah tapi terlalu riskan katakan dia masih seperti dulu.
Bersama ku, dia begitu tenang walau tidak pernah mengerti apa yang ada di kepala. Apa yang sedang di negosiasikan logika dan hatinya tapi tidak ada gerakakan tidak penting (hmm… bukan tidak ada tapi relative sedikit sekali) dan ntah benar adanya atau karena yang disampingnya aku.
Ada komunikasi tanpa suara yang kami jalani belakangan. Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang ada dikepalaku, campur baur. Juga tak bisa mengira-ngira yang ada di kepalanya, hanya siluet mimik wajah yang sempat terekam yang melintas. Ada pembicaraan yang kurang lebih sama seperti kali pertama bicara dengannya (hmmm.. lebih tepatnya aku yang mulai… kebiasaan buruk merongrong pribadi orang)
“islam, ramadhan lalu puasa bolong 3 atau 4 (puasa menurutnya yang ku tangkap adalah dopping biar gak cepet ngeluh), sholat walau masih kadang-kadang, 5 surat pendek ku hafal”
Aku pempertanyakan jauh tentang sebuah penetapan hati, tentang semua hal yang di lakukannya belakangan ini. Yang ku tangkap datar jawabnya tanpa penekakan atau karena aku hanya membaca bibir nya bukan mendengar.
“buat ku hidup itu bukan pilihan tapi harus dijalani”
Aku tertegun ntah untuk berapa lama. Samakah orang yang bertkar pikiran dengan ku ini. Kemana arogansinya pergi, lelah kah ia berkonspirasi dengan idealismenya atau ini bentuk pendewasaannya atau malah ini tameng untuk yang lainnya. Aku tak terlalu perduli, kalau memang yang dia lakukan adalah inginnya, aku ikut senang. Ku rasa itu baik untuknya dan keluarganya, hal positif tidak menghasilkan hal-hal yang negative.
Walau kalimat terakhirnya wajar di telinga tapi aku merasa miris mendengarnya. Konsep “dijalani” come on … jangan buat aku tertawa. Hidup itu suka tidak suka akan berjalan dan yang hidup mau tidak mau harus menjalani, setiap yang hidup diberi kebebasan cara menjalaninya dan cara itu pasti dipilih secara sadar atau tidak. Selama masih ada baik-buruk, kanan-kiri dan lain-lainnya berarti kita masih berhak memilih.
Selalu, selalu akan ada banyak pilihan. Karena pilihanlah sesuatu terlihat berbeda dalam balutan hal yang sama. Karena kita masih mencari-cari yang lain memberikan second opinion