Selasa, 28 Desember 2010

nothing





Senin, 27 Desember 2010

dia-dia-dia

Aku tak mampu menemukan pena untuk gambarkan

Aku tak mampu menemukan nada untuk senandung

Aku tak mampu menemukan kata untuk bicara


Ntah apa yang terjadi

Senang atau malah takut

Saat jantung ini berdegub hebat

Mungkin aku rasakan dua hal itu bersamaan


Oh..My God

What is this real?

He’s here, now

Dream comes true

I’ll see him


Aku harus bisa biasa-biasa saja


Oh … Tuhan

Lama rupa nya tak ku pandang wajah ini

Lama rupa nya tak ku lihat senyum ini

Lama rupa nya tak ku dengar gelak ini

Tuhan serupa inikah rindu


Aroma tubuhnya tak sekuat dulu

Sinar matanya tak semenantang dulu

Gurat wajahnya mulai banyak

Coklatnya semakin coklat

Dan dia tetap tidak berubah


Harap-harap cemas melanda

Saat ku terpaku pada matanya

Tuhan jangan biarkan jantung ini lebih kencang lagi

Tuhan jangan biarkan pipi ini merona

Tuhan jangan biarkan Ia tau apa yang ku rasa saat ini


Aku takut datangnya Ia bukan sekedar membawa rindu

Aku takut datangnya Ia bukan hanya ingin bertemu

Aku takut apa yang ku pikirkan itu benar

Dan semakin takut saat di mintanya Aku duduk mendekat


Aku berharap disela-sela degub jantungku

Aku berharap disela-sela nafas penuh aroma tubuhnya

Aku berharap disela-sela deru nafasnya

Aku berharap disela-sela gelisahnya


Semoga bukan tentang kami, Ia bicara

Aku salah dan Ia bicara


Aku hanya ingin katakan maaf

Saat aku tak kuasa untuk tidak menciumnya

Saat aku tak kuasa untuk tidak katakan sayang


Diduniaku saat ini tidak mungkin


Aku galau melihat parasnya

Banyak tanda tanya yang urung ku lontarkan


Aku takut, aku buatnya berantakan

Aku takut, aku buatnya tak kenal akan dirinya


Karena ku tau ini berbeda untuk ku dan untuknya

Karena ku tau sebelum ini

Tak pernah ada dua kali dalam hidupnya

Tak pernah ada meminta dalam hidupnya

Dan mungkin tak ada banyak air mata

Kamis, 23 Desember 2010

Rabu, 22 Desember 2010

iseng



Sabtu, 11 Desember 2010

surat 081210

Surat dari teman untuk ku, isinya


Salam sayang,

Banyak hal terjadi padaku, mungkin juga padamu. Aku tak ingin tanyakan kabarmu, karena jika kamu ingin pasti sudah kamu beri tanpa harus ku minta. Seperti kau ingin aku bercerita tentang apapun padamu tanpa sungkan. Aku disini biasa-biasa saja menjalani rutinitas yang mungkin itu-itu saja. Sampai saat ini masih memendam keinginan duduk di bangku kuliah lagi, yang tak bisa ku realisasikan dalam waktu dekat karena banyak hal yang tak ngin kulewatkan. Ukuran tubuh ku tidak jauh berbeda dari terakhir kali kita ketemu, hanya pipiku saja yang mungkin lebih berisi malu mau bilang tembem. Tidak ada masalah yang telalu berarti untuk ditanggapi serius, aku pikir kamu tau kalau aku akan berhati-hati untuk terlibat di dalam suatu masalah (orang yang egois tak mungkin tertarik ngurusin urusan orang, kira-kira seperti itu). Bisa dibilang keseharianku terlalu asik untuk dianggap biasa-biasa saja oleh banyak orang, semuanya plus minus ada yang senang tak sedikit yang tidak, sampai saat ini ku anggap angin lalu karena sedikit orang yang tau apa dan bagaimana aku. Aku masih selalu risih banyak orang tau tentang ku. Aku masih sering bicara pada angin, bercanda dengan hujan walau tanpa basah aku tak mengerti mengapa dia tak bisa lagi menyentuhku, masih manja dengan coklat dan masih berteman buku walau tak melulu membaca, masih sering dapat ciuman ^_^ .

Pagi tadi acc Fb ku mendapat banyak pesan, kukira seperti biasa undangan perkawinan ternyata salah. Gak semua isinya undangan, Aku terkejut ( “AHHH..!!!” :D, gak gitu juga sih) liat pesan dari hengky temen daan mogot ku (aku selalu buka pesan dari orang yang kukenal dulu baru orang yang kutau), isi pesannya dia marah karena berpikir aku dah tandai dia disalah satu foto milik kita dulu baru-baru ini, dari pesanya aku ngerti dia minta aku buat ngerti itu gak bener dan kasih tw aku buat ngerti posisinya saat ini, walau agak keras tapi kuanggap normal sebagai teman dan wajar karena dia harus ngejaga perasaan pasangannya, toh pasti dah clear saat ini masalahnya. Setelah itu ku lihat satu pesan dari seseorang yang kutau dia istri dari hengky, ku pikir pasti dia marah juga aku sudah bilang pada hati ini untuk tidak membuka pintu manapun tapi gagal Cuma karena kalimat “lo tw dr aj ya”. Ku jawab keras dengan cara ku yang kupikir kami bisa sama-sama berpikir yang terjadi bukan inginku dan semua diluar tanggung jawabku dan juga hal itu bukan apa-apa. Tetapi perkiraan ku salah, aku malah dapat pesan balik dari setiap kata yang ku baca sepertinya dia tersinggung sekali dan tidak ku tanggapi karena memang tak ada yang perlu di tanggapi setidaknya tidak penting buatku, lagi pula foo itu bukan hal yang seronok untuk menciptakan sebuah aib atau merusak citra (xixixixixi tapi jujur membaca tulisannya aku tergelak, ntah lah dia bodoh atau menjadi bodoh karena marah… cara dia menulis gak pake otak gakgitu diperhalus hmmm… caranya menulis lebih mementingkan hati… sudah aku perkirakan jika aku jawab dengan caraku tak mustahil dia akan lebih meradang bahkan malu .. tapi sudah lah kurasa kata-kataku cukup untuk menamparnya balik)

Setelah menanggapi pesannya aku jadi berpikir akan samakah jika aku yang ada di posisinya (melihat suami berfoto berdua diruang terbuka bersama teman-temannya dengan busana lengkap tidak mesra). Menunjukkan rasa tidk suka pada orang hanya aku tau dan tidak ku kenal ( xixixixixiixixixi). Aku baca lagi pesan ku untuknya apa yang salah hingga membuat nya meradang, tak kutemukan kata-kata kasar. Tapi jadi teringat ucapan adik manisku, “emang mba gak pake kata-kata kasar, justru karena itu jadi bikin lawan bicara mba ngerasa kecil atau mengira mba anggap remeh dia, lagian mba kan senengnya ngerespon, kayak gitu deh kira-kira” … sampai sekarang masih terus berpikir iyakah?

Merasa apa yang ku lakukan tak seutuhnya benar, ku coba berbagi. Dan jawaban yang kudapat hanya “kamu berlebihan menanggapinya” dan sudah. Ku coba cerna walau gak bohong kesel “apa coba jawab menjudge tanpa penjelasan” tapi sudah lah mungkin iya harusnya malah tak usah ku tanggapi. Rasa nya campur-campur kesel, malu dah kayak anak kecil, lucu masih ada yang terbawa sama anak kecil satu ini :D.

Kutanyakan pada teman perempuanku yang berpikir ringan, yang saat ini sedang dalam masa pacaran “ bagaimana jika dengan statusnya dia sebagai pacar dalam posisi istri hengky menghadapi persoalan seperti itu?” jawabannya “g pernah kok ngalamin, dan g ngambek berminggu-minggu” (O..ow… berarti aku nih yang gak normal) lalu ku tanya “apa yang lo lakuin sama yang udah ngetag foto itu?” jawabnya “lo kenapa sih tanyanya kayak gitu? Ada yang ngetag ke lo atau malah lo yang ngetag nih? Ya gak g apa-apain lah, diemin aja” (berarti g gak sendiri). Karena di desak, akhirnya ku ceritakan duduk masalahnya. Eh dia malah ketawa, “g kira lo gak bakal nemu masalah kayak gini”, bla-bla-bla.. yang lucu dia bilang gini “ya mungkin karena rasa cinta nya gede makanya cemburunya juga gede” kali ini aku yang balik ketawa “bukannya makin cinta makin percaya! Dibodohin pun percaya? Berarti dia blom cinta”.. kami ketawa untuk apa juga gak ada yang tau. Akhirnya dia bilang “lo dah gak kenapa-kenapakan? Biarin aja. Ntar lo gila lagi” dan selesai.

Aku belajar sesuatu yang tidak ku perkirakan.

Betapa isi kepala itu tak terukur, saat ku tulis “harusnya belajar percaya” bukan sekedar bilang foto itu bukan apa-apa. Lebih dari itu, percaya bahwa pasangannya bisa memastikan hal itu tak terulang ke dua kalinya.

Rasa percaya, sulit di terapkan secara total. Mudah bicara sulit meyakinkan hati, bukankah mata bisa bicara lebih dari yang terucap oleh bibir. Bagaimana cara mereka bicara? tak saling pandangkah?

Memang lebih mudah berteriak ke orang lain daripada meneriaki diri sendiri. Tak tau dimana batas sebuah toleransi, untuk mengerti apa yang kita tanam hari ini esok kita petik. Banyak orang yang mengerti bahwa saat ini ia berteriak karena marah dan kecewa tapi saat orang lain marah dan berteriak padanya sedikit orang yang sadar kalau yang dilakukan orang itu serupa apa yang dilakukannya saat marah, lalu bersembunyi dalam ketidak terimaan ‘salah g apa’ dan kata sabar ‘nanti juga ada yang bales’. Jujur kadang ingin meneriaki orang-orang yang bilang sabar itu BEGO, kalau gak terima ya ubah dong pribadi sendiri jangan ngarep doang, aku yakin kata ‘sabar’ akan jadi kata terakhir yang bisa dipake dan kata itu bisa jadi lebih berarti dari apapun.

Ah… cape nih. Dah malem siap-siap bobo semoga besok lebih banyak lagi yang masuk di kepala. Hmmm.. mungkin kamu juga sudah bobo. Dunia boleh bicara tapi aku yang memilih, begitukan?

Small room, 081210

Yang selalu ingin merindu

Jumat, 10 Desember 2010

. atau ,










Rabu, 08 Desember 2010

Kenangan







belajar terus jadi pribadi yang lebih baik biar gak keulang lagi .... malu rasanya

Rabu, 24 November 2010

G.O.E.S

Gambar & rangkaian cerita seorang kawan

Ini minggu tanggal 21 November 2010, acara fun bike punya 'kompas' (kompas palmerah-gandaria city(muter-muter)).ki-ka (Nyonyo, Puji)

semua serba katanya....

dia (puji) ditawarin nyonyo buat ikut funbike yang di Ok-in tanpa tau rutenya. Pas tau sempet ragu-ragu, serius nih. Modal nekad, Jalan terus.

dari rumah jam 5.00 pagi, ketemuan sama temen kampus nyonyo di pojok. :D seperti yang sudah di bayangkan, posisinya pasti dibelakang bukan sengaja tapi emang gak bisa ngejar :))

sabelum berangkat Bundanya dah wanti-wanti buat gak usah pergi, "nanti pulangnya tuh siang, panas loh" yah udah terlanjur nanti bawain baju lengan panjang aja ya?!

sampai di gandaria city Nyonyo sama temen kampusnya mau tunggu acara doorprize , hufftttt... panas-panasan deh nih. Bunda dah dari tadi sampai di gandaria city ditemenin temen deketnya nyonyo. mukanya Bunda khawatir liat muka dia (ji), tanya-tanya cape gak? disuruh langsung duduk? berulang-ulang dibilang kasihan. huffft.... memprihatinkah muka dia (ji)

ngeliat dia (ji) dah duduk gak banyak ulah nyonyo dan temennya akhirnya ngajak pulang padahal acara belum selesai. dari gandaria jam 10-an sampai rumah jam 12-an, masih di jaga sama Tuhan beberapa kali hampir jatuh, yang terakhir yang paling lucu. katanya, lagi gaya ngehindarin macet naik trotoar (trotoar jln ciledug raya mana ada yang normal sih) pas mau balik di jalan kepelesat batu, karena lemas gak bisa ngimbangin sepeda dah miring tuh kalau aja bajaj di belakang jalan wah dia bisa ada di RS, eh tukang bajaj nya bilang "hati-hati"... uffft

sampai dirumah dibuatin minum, susu dingin dah ada. di ultimatum " Besok-besok klo jauh gak usah ikut-ikutan, pulangnya siang kayak gini klo nyonyo biarin aja dia dah biasa, kuat. liat tuh mukanya merah semua, coba liat tangannya? merah-merah gak? mau panggilin tukang urut gak?" dia meringis doang abis dah lemes banget kepanasan, akhirnya jawaban yang keluar "iya" ngegeletakin badan di teras depan. gak lama nyonyo sama temen nya sampe, ternyata mereka mampir beli minuman, di tambahin lagi pake UC-1000 orange. diketawain, diledekin pula.

setengah hari penuh rasa semangat, seru, seneng, BT, bosen, cape, lemes...

ternyata dia (ji) itu payah..... bikin orang khawatir

Kamis, 18 November 2010

belajar melihat


Maaf ya, kali ini tergelitik lagi oleh dunia…

Maaf ya, kali ini sinis lagi…

Maaf ya, kali ini aku terbahak sendiri lagi…

***

Ini cerita maju-mundur maju-mundur yang mungkin hanya sebenarnya itu-itu saja. Lebih dari itu aku hanya ingin merekam ini agar kelak lebih baik lagi, agar mau terus praktek setelah tau teori-teori klise yang beredar diruang kasat mata ini tidak menjadi manusia sombong yang hanya mampu berkutat didunianya sendiri lalu berteriak pada dunia kalau aku ini ada, agar mulai saat ini bisa bijak menyikapi hidup dengan masalah yang mungkin bisa berulang walau dengan kondisi yang berbeda karena tiap detik hidup terus bergulir. Aku menulis bukan bertujuan membanding-bandingkan masalah yang satu dengan yang lain, karena design Tuhan begitu kompleks untuk dimengerti tanpa mencari tau. Aku hanya ingin mengirim lembar isi kepalaku saat ini, Kelak jika ku buka lagi dan ku baca aku bisa berkata pada diriku sendiri “betapa naifnya kamu” atau yang lainnya.

SMS ku terima sore hari dari seorang teman di awal November, secara singkat maksud dari sms-nya adalah meminta bantuan secara financial (bukan sumbangan hanya minta pinjaman) untuk membeli obat untuk dirinya. Lama tak ku balas karena Ku pikir “Aku juga masih ada kebutuhan”. Lalu pikiranku bergrilya

· … emang klo lo yang butuh, apa dia bisa ngasih kayak apa yang lo bisa? Ayu gak yakin! Lagian baik amat sih, ntar jadi cadangan loh (bayangan penggalan percakapan dengan masalah yang sama dengan kondisi berbeda beberapa bulan lalu). Sempat mikir iya juga ya, aku gak punya kewajiban secara logika untuk membantu mengatasi masalahnya. Tapi pikiran ini juga tidak membuat ku tenang

· Ku ambil Hp bicara dengan kawanku, katanya “Buat apa sih dia? kamu lihat pengeluaranmu bisa digoyang gak. Klo gak bilang aja gak ada” (kira-kira gitu intinya). Ya memang bukan jawaban yang mutlak yang dia kasih, toh dia cuma umpan balik bolanya aja, jawaban klise yang diplomatis kalau aku diposisinya juga akan bilang gitu (mungkin :D). Tapi aku jadi bisa ngeliat kenyataan, banyak orang yang emang mentingin diri sendiri dan lebih banyak lagi yang mementing-pentingkan yang tidak terlalu penting untuk dirinya ketimbang yang lain. Memang seharusnya kita bisa mempertahankan diri sendiri. Aku berpikir iya, ngapain ngotot bantuin orang, kalau gak bisa ya udah, kalau emang dia butuh, kalau dia cuma gak mau ngegoyang kebutuhannya sendiri… Aku bingung

Sampai berdenting lagi sms darinya, memastikan. Lagi-lagi aku terseret dalam ruang pikirku yang terkadang NGEJELIMET

· Ayo lah, pikir baik-baik, bukankah tak selayaknya memelihara pikiran-pikiran buruk hal itu tak disuka Tuhan-ku, Bukakah Rosul-ku menyuruh anaknya Fatimah untuk memberi gandum pada orang-orang yang dikirim ayahnya padanya untuk meminta makan yang datang hingga tiga kali, sedang persediaan gandum yang dimilikinya untuk keluarganya sangatlah minim, tapi tetap juga dia beri. Tak bisakah aku mengikuti sedikit jejak nya. Bukankah ini kesempatan yang diberi Tuhan untuk berguna bagi sesama. Bukankah Tuhan menjanjikan sesuatu yang indah jika mau memberi hutang pada orang yang membutuhkan untuk kebaikan. Bismillah, Akhirnya ku putuskan untuk memberi temanku pinjaman. Semoga bermanfaat untuknya dan untuk ku

Ku kirim balasannya “bisa, ambil aja dirumah”. Ku kirim pada kawanku juga keputusanku itu. Ntah apa itu rasanya benar-benar lega, padahal aku tau pasti didepan ada berkas yang harus ku lengkapi.

· hanya berpikir positif ku ikuti jalan-Nya untuk memudahkan jalan orang lain maka Ia pun tak akan mempersulit jalanku. Akan ada jawaban diwaktunya nanti.

Temanku datang membawa yang dikenalkannya sebagai pacarnya. Ritual bertamu, basa-basi bicara hal-hal yang tak terlalu penting, lalu ku ajak temanku ke kamar ku agar teman dekatnya tak tau atau setidaknya tak melihat. Tak lama mereka pamit pulang, wajar kepentingannya memang tak perlu diplomasi panjang (hahahahahaha…. Bukan itu, tapi memang waktu sudah cukup malam untuk bertamu apalagi jika masih ingin melanjutkan bercengkrama dengan sang pacar….. jadi malu).

· Oh..God! She was came here with her boyfriend. They are in seriously relationship. Aku gak habis pikir, mana mungkin menjalin hubungan serius hanya untuk mendapat teman bicara, buatku benar-benar-benar tidak masuk akal. Ku beri tahu temanku sakit baru di pertengahan bulan Oktober dan telah menjalani pemeriksaan dan kali ini adalah kali kedua hanya untuk membeli obat lanjutan. Masa pemeriksaan dilakukan sendiri oleh temanku karena teman dekatnya diluarkota kerjanya, dan kali ini dia tidak bisa membantu (mungkin atau pasti dengan alasan yang ku tak tau). Aku tak mengerti mengapa teman dekatnya bisa begitu tenang menanggapi masalah temanku ini, Apakah dengan mengantar temanku ke sini dirasa cukup?. Mungkin dia dalam keadaan tidak punya tapi tidak bisakah dia mencarikan pinjaman untuk pesakitan, agar tidak bertambah gusar karena selain merasa sakit juga harus pusing memikirkan biaya pengobatan. Bukan ingin mengukur dari segi materi, toh yang kita punya saat ini adalah titipan… :D bukan laki-laki tipe ku. Pikirku cinta itu rapuh tanpa pondasi, cinta itukan saling melengkapi, yah semua memang ada dikepalaku. Nyatanya temanku menerima adanya mungkin ini yang disebut cinta apa adanya, memakluminya. Ah..! teori memaklumi, menurutku orang dapat memaklumi karena sadar dirinya dikondisi yang sama tidak dapat berbuat yang lebih baik dari yang diterimanya saat ini. Kurang prinsip atau kurang pengalaman ya? Tapi menurutku hanya kurang memutar otak sedikit. Tiba-tiba sontak berpikir sudahlah baik untukku mungkin tidak untuk yang lain.

***

Sang waktu berputar hingga tanggal 15 November sudah, semakin mendesak tanya-tanya semua harga melambung. Sampai 16 pagi memutuskan, Ok! Ambil yang paling masuk akal dan memenuhi syarat. Sore harinya menilik sekalian bungkus, 1,6 juta cukup besar dan cukup usia. Sempat berpikir juga untuk mengundur sampai tahun depan, tapi siapa yang bisa memastikan aku hidup sampai esok. Kalau ada, bisakah ia juga memastikan Bunda ada disaatnya nanti. Bukan sok-sokan hanya tak ingin terlambat dan terisak dalam sesal. Hadiah kecilku untuk Bundaku tercinta, menggenapi ajaran-Nya. Kamu tau, aku senang aku tidak terlambat dan berdoa agar bisa memberi yang lebih baik lagi tahun-tahun mendatang. Yang penting adalah yang harus dikerjakan telah dikerjakan yang lainnya bisa kompromi.

Diperjalanan ke masjid menyerahkan Zakat, teman-teman Bunda bersuara “Anaknya yang ngebeliin”. Aku dan Bunda tetap berlalu. Disamping Bunda, aku bisa merasakan betapa Bunda sangat bergairah yang tak bisa ku gambarkan yang jelas andai kuturuti hatiku mata ini akan meleleh.

· suddenly I feel everyone look at me, then I think, what’s wrong with me?. Lalu …Hufff semua menguap, everything will be Ok when I think everything is Ok. Aku hanya bisa melakukan ini untuk ungkapkan rasa terimakasihku pada Bunda karena tidak menukar hidupku saat ini dengan kebahagiaannya beberapa tahun yang lalu.

***

Setelah ini, masih samakah cara kita memandang dunia??


Rabu, 10 November 2010

jalan-jalan

Perjalananku ke masjid pintu seribu tangerang, tanggal 31 Oktober 2010.













Masjid ini ada di Kampung Bayur, Kec.Priok- kota Tangerang. Dekat Pintu air sepuluh, dan harus mau tanya-tanya. Gak ada plank petunjuk jalan yang jelas. Nama Asli masjid ini Masjid Agung Nurul Yakin, katanya dibangun tahun 1978. Lebih terkenal dengan nama Masjid Pintu seribu karena Arsitekturnya, Masjid ini punya banyak pintu, tapi sewaktu ku tanya ke penjaga pintu tentang kebenarannya dia juga tidak tau. Menurutnya tidak ada yang pernah menghitung tapi memang pintu-pintu disana sangat banyak, jadi di juluki masjid pintu seribu.

Aku tau masjid ini dari Bunda, biasanya rombongan pengajiannya sering Ziarah ketempat-tempat seperti ini. Menurut cerita yang ku dapat dari beliau, masuk tempat init uh seperti ada di dalam kubur. Karena tempatnya sangt gelap, sewaktu masuk harus miring-miring karena lorong-lorongnya sempit dan lantainya masih tanah jadi tidak rata harus hati-hati, bisa-bisa terjerembab dan untuk lebih aman baiknya kalau kesana bawa senter sendiri untuk penerangan.

Mendengar semua cerita itu rasanya bukan Aku kalau tidak penasaran. Kok sepertinya mencekam sekali ya.

Minggu pagi berangkat kesana cuma berbekal alamat yang diberi bunda kalau letaknya dekat pintu air sepuluh. Terlalu bersemangatnya hingga terlalu jauh dari tujuan, melintasi persawahan, pabrik plastic tempat teman kampus pernah kerja, ternyata sudah keluar dari batas wilayah kota Tangerang, yang ku ingat tempat itu bernama sepatan. Seperti biasa tersasar bukan lah hal buruk untuk ku. Melihat yang tertangkap mata selama perjalanan kata yangterlintas “Berantakan”. Tata letaknya, bersihnya, bukan memandang sebelah mata mungkin tak terbiasa. Aku berpikir Ini bukan kota besar tapi jalan-jalan disini, gang-gang disini sempit mirip rumah-rumah dibantaran kali di Jakarta. Kok bisa ya, mungkin dulu tak seperti ini. Tapi asik, aku bisa melihat sawah hijau, berangin, melihat laki-laki mendorong traktor sementara aak-anak menerbangkan layang-layang di pematang sawah yang terpikir “Indah”. Setelah bertanya beberapa kali akhirnya sampai juga di Masjid Agung Nurul Yakin.

Memasuki gang dimana masjid tersebut berlokasi, Aku di sapa oleh sekelomok anak yang asik bermain kelereng (Aku tidak pernah lagi melihat pemandangan itu setelah berpuluh tahun menjalaninya, generasi dibawahku terkontaminasi teknologi). Sampai dimuka masjid ku putuskan untuk melihat sekitarnya dulu, setelah itu mendekati pengurus masjid yang jumlahnya tidak sedikit. Dipersilahkan mengisi buku tamu dan diminta mengisi kotak amal untuk perawatan masjid yang jumlahnya tidak ditentukan. Karena Area pemakaman sedang ada yang berziarah akhirnya langsung diantar masuk ke pintu seribu. Tetapi rupanya lagi-lagi harus menunggu karena yang pertama kali masuk belum lagi keluar.

Duduk di ruangan depan ku sebut “lobi” ditemani pengurus masjid tersebut, Pria paruh baya yang nampak tenang sedikit menyeramkan. Darinya aku tau lebih banyak tentang masjid ini dan sepak terjang pendiri dan generasi-generasi keturunannya. Rupanya saat ini pengurus masjid ini telah mengembangkan siarnya sampai daerah bogor dengan mendirikan masjid. Dia menatapku aneh untuk apa datang ketempat ini (dalam hati ku geli juga, “cari wangsit bah”) dilihatnya aku dari atas ke bawah. Kali ini gak salah kostum (pake kerudungan lengkap), tiba-tiba dia bilang “Masih sekolah ya? Sekolah dimana? (wajah ku masih pantas rupanya)”. Sambil terus membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting, ku telusuri setiap sudut dengan mataku. Lobi ini sendiri tidak terlalu luas, kaligrafinya sudah banyak yang rusak, cat-catnya sudah pudar hanya bale-bale keramik yang baru nampaknya, di bagian dalam yang nampak hanya gelap dan yang kurasa dingin sangat.

Akhirnya aku masuk juga, Jalan masuknya gelap dan sempit serupa kata Bunda tapi aku gak miring-miring jalannya (dalam hati sudah terpingkal-pingkal oh seperti ini rupanya jelas saja Bunda harus miring-miring beda ukuran). Ruangan didalamnya seperti labirin, beberapa kali tersandung masih bisa melihat sisi-sisi sepanjang jalan masuk karena masih ada penerangan. Sampai di ujung ruangan terdapat hall yang kata bunda mampu menampung seratus orang dengan posisi duduk merapat, disini yang mengantar akan meninggalkan pengunjung beberapa saat, agar pengunjung dapat khusu wirid, zikir atau sekedar merenung. Sekejap saja semua gelap, seolah semua berhenti, seolah dalam perasingan. Untuk pertama kalinya aku merasa sendiri, benar-benar sendiri (di dunia luar aku masih bisa bicara dengan-Nya dimana saja dalam hati bahkan gumam). Disini aku merasa Dia hanya menatapku, tak seperti biasa menyapa hangat untuk berbincang. Kontan aku menangis, awalnya karena sungguh aku takut akan gelap lalu kemudian aku tak mengerti, aku masih tetap menangis tapi sangat tenang seolah gelap itu bukan masalah. Dalam gelap hanya doa agar kelak kuburku diberinya terang. Lebih dari lima belas menit didalam sana, saat keluar Subhanallah aku bisa merasakan nikmatnya hidup, indahnya warna.

Terima kasih Tuhan.. untuk hari ini, hari-hari yang lalu dan hari-hari kedepan yang Kau beri.

Jumat, 29 Oktober 2010

Celebration


pesta demokrasi
***

Kemarin perayaan satu tahun pemerintahan dinegara ku, Pesta demokrasi katanya (katanya-katanya, katanya siapa?). National celebration, dari Ibu kota Negara sampai kota-kota lain yang tersebar dari barat sampai timur. Layaknya pesta setiap tempat begitu semarak dekorasi tempat, pengeras suara, costum tak lupa penganan, yang punya otoritas tak kehilangan partisipasi dengan memberikan pelayanan keamanan. Repot, sudah pasti setiap kepala berpikir, turut, menghindar, menonton, takut, berkomentar, menyumpah, tak peduli, mungkin masih banyak alasan yang lainnya. Pesta yang yang berwujud demo, penuh warna (jelas saja berapa banyak perguruan tinggi dan Ormas yang berpastisipasi).

Saya tidak berusaha Pro pada pihak manapun atau kontra pada pihak mana pun, Saya sedang berusaha merekam perubahan yang tertangkap mata, menyimpan sebagai cermin pribadi.

Satu tahun kerja yang saya tidak tahu seberapa keras (seharusnya memang sangat keras karena adalah pemegang kunci perubahan yang kasat mata) diberi nilai gagal, mungkin tak semua sepaham akan itu tapi gaungnya tetap saja gagal. Saya tergelitik untuk bertransformer menjadi sosok yang dinilai “E” itu dari yang positif hingga yang negative

“Saya senang, Anda-anda mengingat hari ini tepat satu tahun saya bekinerja untuk Negara kita tercinta ini dan itu juga berarti anda-anda terus memantau kegiatan apa saja yang telah saya lakukan dan selesaikan, kesadaran secara utuh saya rasakan bahwa apa yang telah saya berikan untuk Negara ini mungkin masih jauh dari nilai cukup. Tapi anda-anda harus percaya bahwa saya benar-benar bekerja dan terbuka mendengar apa yang anda-anda keluhkan dan bukan saya tidak menindaklanjuti apa yang menjadi rumor diluaran tetapi kami memang butuh waktu untuk menyelesaikannya dan tidak mudah mengungkapkan apa yang terjadi pada Negara di khalayak umum, mohon anda-anda dapat mengerti hal ini. Saya tidak akan berlindung dibalik sifat dasar manusia yang terkadang lalai, oleh karena itu hadirnya anda-anda untuk mengingatkan saya selalu menjadi hal yang istimewa terutama untuk saya karena semakin banyak masyarakat yang peduli pada arah mana yang akan kita ambil untuk perubahan baik di negeri ini. Salam demokrasi”

Hmmm… atau saya akan berpikir

“Melihat antusias pendemo Saya jadi punya ide untuk memfasilitasi mereka, sediakan tenda-tenda dimana mereka akan mengelar demo lalu berikan setiap tenda fasilitas yang berbeda. Bukankah kita akan bisa melihat nilai demokrasi yang mereka junjung-junjung itu, mampukah solidaritas mereka bekerja dibawah tekanan fasilitas, yang berfasilitas nyaman maukah untuk berbagi dengan yang lainnya? Atau yang minim fasilitas mampukah mereka ikhlas menerima dan membiarkan yang lain menikmati kenyamanannya sendiri? Masih konsentrasikah mereka meneriakkan kata kegagalan ke mata dunia. Dan Saya akan menjadi tuan rumah yang ramah”

Atau

“Saya akan terbang ke Negara A bukan? Pada saat mereka bersama-sama demo. Pantau apa saja yang mereka katakan. Siapkan pidato kenegaraan jika diperlukan, Saya ini pusing memikirkan ini dan itu sedang mereka hanya pusing memerhatikan gerak-gerik saya. Masih muda tau apa mereka”

Membacanya sendiri Aku kok tergelak, mana mungkin ada yang berpikir sekonyol apa yang sedang Ku pikirkan.

Memasuki ruang pikir yang ada dibawah sebagai pendemo yang ku bandingkan dengan cerita seorang teman lama yang mungkin tak jauh berbeda kondisi. Penampuk jabatan di BEM selalu yang pertama kali sibuk mengkonfirmasi BEM universitas lain membuat sekutu, membuat surat ijin ke pihak direktorat kampus, ijin ke kepolisian, mengkoordinir peserta, mengkordinir attribute *spanduk, yel-yel, busana, menyusun acara, menyiapkan naskah untuk berorasi (tak mungkin dikerjakam sendiri, itu yang pasti).

Banyak kepala yang terlibat seolah sepakat satu suara. Masa sih….?

Bukan meragukan kredibilitas pendemo, mungkin banyak yang mengerti apa yang mereka katakan dan teriakan tapi gak mau tutup mata yang gak tau apa apa dan atas nama solidaritas turun kejalan. Dua benda serupa tidak lah sama.

***

Semua kepala dibuat khawatir secara pribadi takut demo berakhir anarkis dan memang iya dan selalu menyisakan persoalan baru.

Kita jalan-jalan sedikit kedalam kepala ku yuk, yang berorientasi pada ku

Aku benci demonstrasi, bukan sia-sia hanya tidak efisien dimata ku. Bukannya gak sedikit yang sekarang ada di atas dulu juga aktif berteriak-teriak. Kalau saja paparazzi berlaku adil gak sedikit kok yang duduk-duduk dipinggir trotoar mengepul rokok, hanya memeriahkan demo dan paling gampang tersulut emosi. Belum lagi pendompleng-pendompleng bayaran yang memang bertugas menyulut masalah, ironis.

Berteriak-teriak, mengoreksi banyak hal, mengungkapkan apa yang ada dikepala mereka disebut idealis, yang saya rasa harusnya bisa juga memberi masukan penyelesaiannya. Berorientasi hasil pasti banyak kepala setuju dengan apa yang mereka teriakan bahkan mungkin yang sedang di teriaki pun inginnya seperti itu. Yang diteriaki bukankah bisa lebih bijak, melunak berbagi pencapaian pada public. Bukankah banyak media yang bisa dipilih.

Bakar ban ditengah jalan, bakar foto, apa tujuannya? Gak ngerti. Apa dengan membakar ban dimaksud untuk menyulut semangat berorasi. Kalau iya miris, klo memang api bisa membakar semangat jangan bakar ban yang disiram air seember padam, bakar saja gedung bukankah lebih besar api yang akan tercipta, tapi jangan demo lagi kalau nanti ada anggaran perbaikan sarana-dan prasarana yang fantastis (pasti ingin update mode property dong ). Bakar foto apa fungsinya, emang kalau bakar fotonya orangnya juga bisa kesakitan karena panas? Kalau bisa aku setuju banget tuh, biar bisa jadi warning biar klo ambil keputusan yang mengarah kepentingan rakyat. Tapi toh nyatanya enggak gitu, orangnya baik-baik saja. Atas nama kehormatan, maka separator-sparatornya marah tak terima. Dimaklumi, kalau dinegara sendiri saja tidak dihargai apa lagi di Negara orang.

Saat demo, mana pemikir-pemikir yang mendukung go green, mana yang mempraktekan safe our earth, gak ada semua teori mereka setuju pembakaran ban yang berarti menaikan suhu. mereka setuju membakar foto yang menyisakan sampah. menggunakan badan jalan, ciptakan kemacetan meningkatkan emisi gas buang. Menuntut penyelesain msalah dengan membuka masalah baru.

Demo tanpa kekerasan, pasti kurang seru, kurang cerita untuk dibagi, kurang bahan untuk dikaji. Dorong-mendorong aparat keamanan dan pendemo bukan hal baru, mengoyak pagar instansi pemerintah mulai menjadi tindakan wajar. Gak sadar mereka kalau hal itu merugikan rakyat juga, bukankah dinding dan pagar itu dibangun dari uang rakyat? Sedang mereka belum lagi berpenghasilan hingga dapat dikenakan pajak penghasilan. Geregetan kalau uang yang ku sumbangkan untuk Negara hanya untuk dirusak, tapi lebih kesal kalau uang yang kusumbang masuk kedalam perut-perut tamak. Kekerasan akan mendapat protes dari lembaga hak asasi manusia yang terkadang tidak mau peduli siapa yang menyulut yang dilihat selalu korbannya (memang kadang-kadang yang menjadi korban itu yang tak bersalah), Paparazi menyorot kekerasan dengan ekstrem pemberitaan-pemberitaannya memenuhi layer kaca, ibu-ibu protes pada lembaga pertelevisian atas penayangan itu (takut berdampak pada stabilitas mental anak-anak) dan pemberita berkelit sudah seharusnya kita tahu dan melihat, ini adalah kebebasan pers (yang aku tak ngerti, biarlah bukan kapasitas ku).

Gimana kalau pendemo diberi ruang bicara, buat bilik suara (model “the box”-nya ochanel), jadi kita bisa liat seberapa banyak orang yang bener-bener mau protes dan ngerti apa yang diprotes (profil merekakan ke safe tuh). Gila, gak yakin bakal sesemarak belakangan ini. Atau setiap pendemo terdaftar dan memiliki ID untuk berdemo begitu juga yang bertugas mengamankan, pasang CCTV dan kenakan sangsi pada yang benar-benar salah. Lebih gila nih otak sepertinya.

Kenapa tidak belajar mengoptimalkan kapasitas diri, berjalan mantap sesuai dengan keyakinan yang diyakini. Mengontrol diri (*kata uya-kuya “katakan yang ingin anda katakan jangan katakan jika dirasa tidak perlu dikatakan”)

Aku rasa sudah terlalu banyak bicara, ngantuk, ingin terpejam bermimpi hari esok lebih baik.

Malam, 21 Oktober 2010



Kamis, 28 Oktober 2010

Setengah Jalan

Senin, 25 Oktober 2010

senyum


belajar senyum luar dalam

Jumat, 22 Oktober 2010

sketsa-2

dari pada ngeliatin demo... mending gambar

Kamis, 21 Oktober 2010

omong kosong soal cinta

Hari kamis sebelum jam makan siang, aku sudah asik berada di dunia maya. Seperti biasa sebelum membaca artikel-artikel yang berkeliaran bebas ku buka FB. Ada tiga pesan, aku hanya ingi menceritakan satu pesan dari Hengky teman kampus ku, karena yang lain pesan biasa dari link yang aku ikuti. Di pesannya hengky mengundang untuk datang ke resepsinya tanggal 9 Oktober 2010 di gedung surya Kencana Jatake jam 10.00-12.00 WIB. Yang tak ku hadiri

Menerima kabar itu jadi ingat Rani, teman dekat hengky yang sempat ku kenal. Gimana perasaannya ya? Kabar terakhir dia yang ku tau dia masih kecewa dan berat untuk menerima semua hal yang pernah dilalui bersama hengky menjadi biasa-biasa saja, dan sekarang sedang melakukan pendekatan dengan seorang temannya. Ku coba menghubungi lewat hp nya, gak bisa. Karena ku pikir aku hutang janji untuk mengabari hal yang terjadi pada Hengky untuknya, karena Ia meminta jauh sebelum hari ini. Dengan berat ku pikir ya sudah lah mungkin Hengky sudah menghubunginya langsung.

***

Siang tadi sempat ngobrol dengan Rani Via YM. Hal-hal sederhana kabar, lama gak liat akun Ym-nya, sibuk apa, cerita perkembangan hubungannya. Sampai ku bilang “Lo dah tau kan klo hengky married?! Lo dateng?” dia jawabnya “Iya, gw tw dr widi. Gw gak dateng gak diundang, widi juga. Emang lo dateng?”. Aku bilang “gak bisa dateng kerja, ohh… g kira hengky sendiri yang kasih kabar ke lo?! Ya udah lah..lo gak apa kan” dia jawab yang menurutku sedikit emosi “ya udah sih gak penting juga, g juga lagi berusaha ngelupain dia. Masih sakit hati” tumben perasaanku jadi gak enak dengernya, biasanya pasti bakal dua-tiga kali ngeluarin statement yang lebih menyebalkan “Bukan penting gak penting sih yang ada dikepala g, g kira lo mau denger klo gak g minta maaf. G Cuma inget lo minta g kbrin klo ada yg g tw tentang hengky. Klo sekarang lo mau tutup semua akses tentang dia, ok andai ada kbr g gak kasih tw lo.. g beneran minta maaf klo nyinggung lo, g kira lo dah ikhlas” emosinya dia down juga “ sorry ji, g agak emosi.. g emang belom bisa ngelupain sakit hati g ke dia. Tapi nanti g juga ingin dia bahagia… sekarang g lg ada masalah yg lebih urgent di keluarga g” gak ingin ikutcampur “g harap ada yang bisa ngedenger cerita-cerita lo kasih masukan buat lo, g harap masalah lo kelar”…

Setelah putar ulang apa yang ku baca tadi siang, jadi ingat kawan ku, Koko. Saat kali pertama ku berbincang dengannya tentang Rani, Henky dan teman dekat hengky yang sekarang menjai pendampingnya (tya). “Ay, hengky tuh pasti punya alasan kenapa gak pilih rani dan pilih tya. Kalau aku jadi hengky ku juga mungkin pilih tya” sambungnya “lebih asik tya ah keliatannya”. Ku goda dia “apa yang kamu liat?” dia bilang “hahahaha… mancing dia, mantab, ay” aku diam, bukan marah, gak senang atau penasaran. Tiba-tiba “Ay, marah ya? Wajar kali cowo” tersadar kalau dari tadi aku diam “Hmm, gak.. gak napa-napa..gak tau” dia langsung sambung “huaa…. Jangan diam, aku gak tau yang kamu pikirin” …

Aku mungkin memang aneh. Aku berusaha memposisikan diri sebagai Rani lalu hengky sebentar Tya dan diam dalam bayang-bayang koko. Orang-orang yang mungkin terlalu berani bermain hati, hingga harus menghancurkan bongkahan-bongkahan rasa yang telah tumbuh, hingga memaksa waktu mengobati rasa hatinya atau aku yang terlalu penakut bermain hati hingga tak ingin menghancurkan apa yang sudah kurasakan, hingga egois ingin berkawan waktu yang lalu dan yang kini.

Aku tak mengerti mengapa cinta bisa terlihat begitu membingungkan? Kenapa cinta bisa berpaling? Mengapa tabu mengatakan aku cinta dia dan dia? Mengapa cinta ada batasan kebersamaan? Mengapa cinta begitu terikat dan saat terputus hilang, menguap tanpa sisa untuk di kenang? Mengapa cinta dimulai dengan kata manis bukan sewajarnya hingga bisa berubah menjadi makian atau hinaan? Mengapa cinta bisa hilang?

Mungkin aku yang bermasalah, bukan yang lain. Aku terbiasa mencintai sosok tanpa bisa ku miliki utuh, Aku terbiasa memandang positif banyak hal, Aku terbiasa untuk tidak peduli yang bukan urusanku, Aku terbiasa hidup dengan caraku.

Aku mungkin akan bermasalah saat ku katakana aku mencintai banyak orang termasuk kamu, diluar keinginan untuk bersama, diluar logika, diluar ekspektasiku.

Karena Rani, Aku menyadari bukan yang disana yang bermasalah, tapi aku yang terlalu berbeda. Orang yang asik hidup di idealismenya sendiri

Selasa, 19 Oktober 2010

stststt

Aku berhenti

berhenti berusaha menghapus semuanya
berhenti menganggap kamu tak pernah ada

Aku tak merasa menulis di bibir pantai
Aku juga tak berusaha memahat diatas batu

Aku hanya akan menulis diatas kertas sebuah buku

ikut kemana angin berhembus

Sketsa

Tangan


Sabtu, 16 Oktober 2010

Kamis, 14 Oktober 2010

Ambisi====>Ambisius

Curi dengar pembicaraan dua orang yang mapan secara usia lepas makan siang. Keduanya rekan kantorku, dua orang dengan gender berbeda dengan sejarah hidup berbeda. Si wanita ,ibu dari satu orang putra yang berusai kurang lebih delapan bulan, yang memiliki sejarah hidup yang menurutnya penuh dengan kepahitan, emosional, meledak-ledak, rapuh, selebihnya relative. Si pria adalah sosok tambun yang sedang menanti jabang bayi di kandungan sang istri, dari sikap dan yang nampak saat ini, wajar jika banyak mata memandang sejarah hidupnya menyenangkan dan tercukupi, plin-plan, sesuka hatinya, comel, lagi-lagi selebihnya relative.

Berbincang dari A sampai Z, dari hal-hal sepele hingga berbobot, dari santai sampai perang urat. Ya begitulah, sewajarnya perbincangan pada umumnya. Aku hanya diam tidak terlibat percakapan bahkan bukan seorang pendengar, yang ku lakukan hanya mencuri dengar. Mendengar percakapan mereka membuat saraf-saraf kepalaku bekerja, berbagai ekspresi keluar yang tak dilihat siapapun bahkan mungkin tak terlihat.

Yang membuatku teringat percakapan mereka hanya satu kata, ya hanya satu kata. Kata yang mungkin memiliki power luar biasa, yang lebih sering dihindari oleh orang –orang yang low-power agar tak terlihat egois. Kata yang membuat pikirku tertarik kekanan dan ke kiri, keatas-kebawah. AMBISI..

Aku ingin membawamu dalam ruang pikir ku, tapi Aku ingin kamu ikut mendengar percakapan ini

***

….

Si wanita : Ka nak dari dulu ka kan seneng, cobe ka inget masih waktu sakoleh dulu nian ka naik Honda ku masih naik oto beleberbeleber nue angin

(kamu enak dari dulu senang, coba kamu ingat waktu sekolah dulu kamu sudah mengendarai sepeda motor *biasa orang dalam sebut brand, Aku masih naik angkutan berangin-angin)

Si pria : ka nih pacak bai, yang ku pake Honda lame lah…. Itu punya apa, la gitu ade pula… same lah kite. Sakarang ka udeh begawe pacak beli due..hahhhaahaha

(kamu ini bisa saja, yang ku pakai sepeda motor lama… itu punya papa, sudah begitu ada juga… samalah kita. Sekarang kamu sadah kerja bis membeli sendiri…hahahahaha)

Si wanita : gimane bise same, ka dari dulu sampe sekarang seneng terus.. ku begawe buat makan lah..ka begawe buat ape lah ..buat seneng-seneng

(Bagaimana bisa sama, kamu dari dulu sampai sekarang senang terus.. au kerja buat makan.kamu kerja buat apa juga…buat senang-senang...)

Si pria : same lah..ku begawe juga buat makan.. klo lebih ya bonus..persiapan lah Ci..buat anak kelak

Si wanita : ka je mikir gitu.. ape lagi ku…tapi ku pacak bingung, ade je orang ambisius dah kayak nek lebih-lebih gi….

(kamu saja berpikir begitu, apalagi aku..tapi aku bingung, ada saja orang ambisius sudah kaya masih ingin lebih-lebih lagi..)

Si Pria : hahahaha…. Wajar aja, kan orang hidup itu banyak inginnya. Kayak bos ini sekarang di getol cari duit mungkin dia lagi nyiapin buat anaknya kalo kuliah ke luar negeri

Aku suka *orang hidup banyak inginnya

Si wanita : iya… ku ngertilah tapi kan banyak yang sikut kiri-kanan biar sukses

Si pria : ka nih…itu sih bukan itu bukan sekedar ambisi tapi serakah

*serakah

***

Sesuatu yang baru menyelinap dalam ruang pikir ku, ternyata kemapanan usia tidak dapat memastikan kematangan pola pikir seseorang. Pengalaman mungkin itu kunci, tapi pengalaman seperti apa? Bukankah tubuh-tubuh lebih banyak terkungkung oleh tempat dan waktu, lalu kemanakah jiwa, ruh yang haus akan keingintahuan. Seperti si pria yang cukup mampuni dalam teori tapi tak cukup bijak dalam bertindak, si wanita tak cukup tau apa yang ia katakan tapi dapat mengatur diri dalam bertindak bukan karena hati-hati tapi takut, iya takut akan pergunjingan sosial, dan lain sebagainya.

Malamnya aku berpikir kata itu tak ada statement yang keluar, hanya berkutat pada obrolan mereka siang tadi. Ku sisihkan apa yang ku pikir dan ku ajak bicara bayangan seorang kawan dalam benakku “Setiap kepala pasti punya ambisi bukan?” dan aku yakin jawabnya “iyalah, hidup kali” setelah itu semua menduga-duga. Sebenarnya ingin mendengar apa katanya tentang ini, tapi masih inginkah Ia bertukar pikir dengan ku, Aku ragu. Melayani pembicaran yang tak penting dengan ku barangkali bukan hal yang diinginkannya. Harusnya aku bisa bicara dengan banyak orang diluar kepalaku, tapi aku enggan membicarakan hal-hal seperti ini dengan orang diluar kepalaku atau bukan dengannya. Bukan berarti yang lain tak bisa berpendapat, tetapi tak sedikit dari mereka lebih berpikir kearah mana aku akan membawa pembicaraan, semua jadi terkesan hati-hati. seringkali yang kudengar bukan jawaban dari kepalanya tapi pandangan secara umum masyarakat, sedang kawanku begitu berbeda, mungkin pernah juga atau mungkin sering juga dia berpikir untuk apa pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga tak ada awal atau akhir terlontar dari mulutku tapi caranya menyikapi beda yang dia katakana yang dia tau yang dia rasa, atau mungkin benar karena dia belum kenal aku. Sampai saat ini dia kawan yang dapat memberi tahuku hitam atau putih secara gamblang dan membuat pikirku terlucut semakin jauh. Yang kalau katanya “jadi kemana-mana”

Aku kasih tau salah satu bedanya bicara dengan kawan ku itu dengan yang lain diluar kepalaku.

Minggu sore kupacu kuda merah tak bergigi ke arah masjid bani umar, dikepala masih beterbangan kata ambisi. Ku putuskan untuk bicara ke Nyonyo ini penggalanya:

“Nyo? Kamu tau maksud kata ambisi?”

Jawabnya “ada apa, kok tanya gitu?”

“gak apa, ingin dengar dari nyonyo aja? Bisa jawab dong?”

Jawabnya “hmm… sesuatu yang kita inginkan”

“Apa ambisi nyonyo ? gak usah untuk hidup nyonyo, cukup diwaktu-waktu dekat aja”

Jawabnya “gak tau..gak ada kali..bingung”

“Nyonyo bilang sesuatu yang kita inginkan, semua yang hidup pasti punya keinginankan? Termasuk nyonyo. Kalau ku tanya apa inginnya nyonyo, pasti bisa jawabkan”

Jawabnya “iya, habis bingung kalau ditanya ambisi”

“hahahahaha… nyonyo bukan bingung tapi takut, takut karena kata itu arogan. Nyonyo punya ambisi tapi nyonyo gak mau dibilang ambisius.. ya sudah yang penting nyonyo tau apa yang nyonyo mau” *hanyut dalam keheningan diruang pikir masing-masing sebelum memulai topic ringan yang baru

Aku gak bisa liat ekspresi wajah nyonyo waktu kalimat terakhirku terucap, tapi dari spion kuliat garis lurus di bibirnya seolah menelan pil pahit yang ku asumsikan setuju dan tak tersinggung oleh ucapku.

Bisakah kau tau bedanya saat ini?

Aku masih bergrilya menyusuri statement-statement yang meluncur dari mulutku sampai jauh malam. Menarik mundur ingatan saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, saat diri di cap ambisius sedang kata itu masih asing ditelinga bahkan tak berpikir akan itu. Saat aku mencoba memposiskan diatas dibaning yang lain dan tetap bertahan disana sampai lepas masa didikku. Aku diakrabi cap egois dan ambisius yang dulu tak ku ambil pusing karena bukan hal penting saat itu, tapi sekarang malam ini aku bisa tergelak, menyeringai mungkin pipi ini memerah karena wajahku terasa panas. Aku hanya berpikir Iyakah gadis sekecil itu? Aku pun terkesima, gadis sekecil itu bisa tidak peduli ya bermain, memberi, menerima tak ada yang membebani atau mungkin karena tak mengerti. Tapi bukan tak mengerti kurasa, tak menghakimi diri apalagi orang lain membuat diri lebih bisa menerima apapun secara netral dan penuh syukur. Mungkin saat itu ia tau kenyataan yang harus dikejar dan yang tidak nyata dapat dibuat nyata, prestasi, kepercayaan, pergaulan dan kenyamanan.

Mungkin saat ini label itu tak hilang atau semakin parah. Karena sikap ku, tutur ku, atau mungkin memang sudah menjadi pribadiku, ntah lah. Ku hanya akan berusaha tetap dijalan-Nya. Bukankah hanya makhluk lemah yang tak punya ambisi. Bukan salah ku jika apa yang kuinginkan kudapatkan dan kamu bukan apa-apa.




Catatan malam seorang kawan ,
Minggu, 10 Oktober 2010