Lagi suka lagu ini
***
Belakangan kepalanya lagi seru. Mengenang sisa Februari yang tidak diinfeksikan kelingkungan dan hanya milikku. Terlepas dari banyak kata dari dan keluar, lepas dari tidakan dari dan keluar, berkutat hanya dikepalaku.
Buku dari seorang kawan sampai saat ini belum kubaca. Jangankan ku baca, sampulnya aja masih rapi tanpa sobek, hanya ku coret tangan tanggal diberinya padaku. Bukan tak menghargai apa yang diberinya, ada hal yang mengganggu saat melihat covernya "cemburu". Iya hari ini aku mampu mendeskripsikan apa yang ada di hati dan kepalaku saat tiap kali ku pegang dan mencoba merobek sampulnya, seolah semua darahku mengalir kekepala dan wajahku tibatiba memanas dan ku pastikan warnanya merah juga untuk kali pertama ku baca sinopsisnya ntah atas alasan apa pelupuk mataku terasa berat (saat seperti ini aku tak yakin banyak orang percaya jika ku ceritakan akan hal ini, "perempuan sedikit ekspresi bisa berekspresi hanya karena sebuah buku" kalau dikenang sendiri juga terasa lucu). Aku katakan pada dunia "Aku pasti akan cemburu saat membaca perjalanan dan pencapaian hidup mereka" (pernah melihat wawancara eksklusif dengan BJ di salah satu stasiun TV swasta tentang buku ini, tak sanggup dengar dan lihat sampai selesai).
Januari sibuk menamatkan Novel 'A Thousand Splendid Suns' (gak seberapa lama sih, biasalah kalau sudah memulai pasti kecanduan untuk segera menamatkan, sekarang rehat dari baca e-book (PSP kandas)). Membaca novel itu, aku merasa dibawa berayun-ayun dari tertawa, hampir menangis sambil tersenyum. Terkadang aku bermain-main dengan salah satu tokoh di dalamnya "bagaimana jika aku diposisi itu?". Aku sempat melupakannya, tapi saat berita-berita di tv atau radio menggulirkan kabar pergolakan massa di kairo, Mesir yang menentang pemerintahan yang bertahan selama 33 tahun dibawah kepemimpinan Husni Mubarak (menurutku wajahnya kharismatik), dan banyak isu menunggangi peristiwa itu dari campur tangan luar negeri sampai pergerakan kaum mujahidin (saya tidak tahu dan tidak berusaha mengerti) mampu menarikku kembali ke novel itu. Berapa banyak kepala cemas (seperti gambaran novel itu). Lalu gak sengaja liat email dari teman yang terlewat ku baca, ntah kapan dia kirimkan itu aku lupa, isinya ternyata link pemerkosaan terhadp perempuan iran oleh beberapa tentara, miris. Konsekuensi dari sebuah perubahan. Membaca dan melihat semua itu aku jadi bersyukur setidak dihargainya perempuan dinegaraku tapi masih mempunyai hak untuk melawan. Melihat dari tokoh takohnya, aku salut untuk penulisnya (karakter tokoh disini tak digambarkan begitu luar biasa dan masih bisa dicapai logikaku (tidak terlalu pintar, tidak terlalu kaya, tidak terlalu cantik/tampan, tidak dibuat terlalu menonjol dibanding yan lain), Kalau ditanya siapa tokoh yang buatku berkesan ku jawab semuanya, kalau ditanya siapa tokoh yang paling aku sukai, ku hanya bisa diam. Semuanya menarik :
ibunya mariam dan jalil; aku belajar tanggungjawab atas salah-salah yang di perbuat
dari guru mengaji mariam; aku belajar pengabdian
dari ketiga istri jalil;aku belajar memanusiakan diri sendiri
dari adik tiri mariam; aku tau yang polos itu yang kecil
dari rasyed; aku belajar berhati-hati dengan kebaikan orang
dari toriq; aku mencoba melihat cinta dan logika
dari mariam; aku melihat ke ikhlasan
dari laila; aku melihat kekuatan berpikir
Perempuan tidak selembek agar-agar, kalau novel ini bisa menggambarkan wanita-wanita kuat ini, bukan tidak mungkin diluar sana masih lebih banyak lagi yang lainnya.
Belum lama pergolakan di mesir, di Libya ikut memanas. Dari layar kaca terlihat lebih mengerikan (setting Novel lebih mendekat di Libya). Aku takut!
***
Dihari jadi Aku tak menerima satu bingkisan pun (Versi;lebay). Gak setragis itu keadaanya, Sebelum hari H, sudah ada bingkisan kuning dari kakakku yang sudah ku buka sebelum waktunya. Dari bapakku, aku diberi helm sepeda juga sebelum hari H. dan bingkisan-bingkisan kecil tanpa bungkus dari orang-orang sekitar. Tahun ini aku hanya tidak bisa memberi apa pun pada siapa pun termasuk Ibuku, rasanya sedih. Karena lupa atau sibuk yang tak mau ku ambil pusing, hanya beberapa teman dekat yang memberi ucapan. Itu saja cukup untuk membuatku berterimakasih, Hal lucu tiap kali mereka memberiku ucapan dan berbagai macam doa satu doa yang selalu ku tolak "Panjang umur ya", lucu bahkan aneh itukan kebiasaan. Semuanya tanya kenapa, aku bilang "aku ingin hidup bahagia sampai akhir hidupku dan berumur panjang bukan solusi untuk bisa hidup bahagia".
Sampai tanggal 3 Maret, Aku kaget. Seperti biasa seorang kawan kadang menyempatkan diri mampir mengajakku sekedar untuk menemaninya makan siang, begitu juga kali ini pikirku. Sampai di parkiran dekat kantor dia bilang "tunggu, nih(menyodorkan kantong plastik indomaret)", dari siluetnya aku tau itu coklat "Makasih (tanpa tau ada apa lagi)". Setelah dia putar motornya dan ku genggam plastik itu bukan lagi ku pegang sebagian, aku tau ada yang lain dikepalaku berputar perkiraan-perkiraan mungkin kartu ucapan (mau gaya), suratkah (masa sih, tulisannya kan jelek :D), ok tunggu sampai dimeja aku juga akan temukan jawabannya. Awalnya kutarik coklatnya, sumringah liatnya (mata coklatan, hahahaha.. salah ya yang adakan mata duitan). Setelah itu menarik amplopnya, "wew gak ada amplop yang lebih gede lagi nih" aku kaget, marah, kesel, kecewa pingin langsung nangis liat isi didalamnya lima lembar alat tukar tunai berwarna merah bergambar soekarno-hatta. Ingin langsung menelponnya atau membahasnya lewat sms atau chat atau e-mail tapi urung ku lakukan, rasanya tak pantas lagi pula kepalaku penuh dengan emosi yang keluar dari mulutku pasti sampah nanti. Ku kirimi dia pesan untuk singgah ke kantor jam berapa pun dia bisa, walau berarti aku harus memberi alasan ke kantor untuk keluar. Terimakasih coklatnya mampu menguatkan hati untuk tidak berpikir yang tidak-tidak akan dirinya. Aku tidak merasa tersinggung atas yang diberinya, yang lain juga pernah memberi atau Bapakku atau rekan-rekan kerja tapi aku tau mereka memberi atas alasan apa. Bahkan tanpa diminta penjelasan, mereka memberitahu alasan memberi, biasanya untuk jajan aja atau sangu waktu masih bolak-balik ke kampus. Tidak pernah yang seperti ini, tidak pernah ada amplop segede gaban, tidak pernah tidak ada alasan, sebelum ini semuanya rasional. Aku berpikir apa ini? untuk apa? hadiahkah? tak adakah yang lebih pantas? setidaknya harus ada penjelasan untuk semua ini? apa ini caranya menilaiku? apa ini bayaran atas 60 atau 45 menit ku bersamanya (kalau iya, lain waktu aku yang beri tarif)?
Jumat jam 3 sore dia sampai di tempat yang ku janjikan. Setengah jam bersama tanpa ada apa-apa. Dia tanya, ada apa? yang ku jawab dengan menyodorkan amplop itu di meja dan balik bertanya, jelaskan ini? jawabnya gak ada, gitu aja, aku kasih ke kamu, sudah, tau gini aku gak akan datang ke sini, abis liat-liat gak tau mau ngasih apa yang udah itu yang ada (Kira-kira baca kalimat ini gimana rasanya). (Dari kemarin ku niatkan untuk mengembalikan amplop ini atau ku buang sekalian, aku gak perduli) Aku minta diri untuk balik kekantor, dia bilang kita sama-sama aja, dia sempat memintaku menerimanya dan mengucapkan maaf (bukan kata maaf yang ku cari, aku tak menyimpan atau berpikir negatif akan hal ini). Sampai kami diluar dia gak berusaha memegang amplop itu sedikitpun (aku mengerti, bukan laki-laki kalau dia mau ambil apa yang sudah diberinya), Aku kesel. Kalau saja bukan dia yang memberiku, aku tak peduli uang itu ditinggal dimeja itu. Kalau saja saat dia datang kutak menangkap bau matahari yang melekat ditubuhnya, aku juga tidak mau mengerti. Kalau saja aku sanggup membuat diriku malu dimuka umum, mungkin aku akan berteriak. Untuk kali pertama aku sungguh tak menyukai kata "Kalau". Sampai saat ini lembaran-lembaran itu masih tersimpan di amplop dalam tasku, dan sampai saat ini aku tak tau akan ku apakan atau malah sampai kemudia hari tidak akan pernah aku apa-apakan, karena kenangan hanya segitu nilaiku dimatanya. Untuk perhatiannya, Aku berterimakasih karena aku tau pasti jauh di hati dan kepalanya ada alasan baginya untuk memberiku ini semua yang tak mau atau tak bisa dia bagi denganku dan itu hak pribadinya.
Jangan khawatir menulis ini semua sudah jauh dari rasa marah. Satu minggu sudah berlalu dari saat kejadian itu, cukup waktu untuk membuatnya terkunci di satu buku hatiku. Aku tak menyayangkan apapun yang sudah terlewati. Tiga hari setelah kejadian itu pun dia berusaha menghubungiku, tapi tidak ku respon. Harusnya aku yang meminta maafnya untuk itu :) . Aku juga yakin seminggu ini dia mungkin sesekali melintas didepan kantor ku.
***
Belakangan kepalanya lagi seru. Mengenang sisa Februari yang tidak diinfeksikan kelingkungan dan hanya milikku. Terlepas dari banyak kata dari dan keluar, lepas dari tidakan dari dan keluar, berkutat hanya dikepalaku.
Buku dari seorang kawan sampai saat ini belum kubaca. Jangankan ku baca, sampulnya aja masih rapi tanpa sobek, hanya ku coret tangan tanggal diberinya padaku. Bukan tak menghargai apa yang diberinya, ada hal yang mengganggu saat melihat covernya "cemburu". Iya hari ini aku mampu mendeskripsikan apa yang ada di hati dan kepalaku saat tiap kali ku pegang dan mencoba merobek sampulnya, seolah semua darahku mengalir kekepala dan wajahku tibatiba memanas dan ku pastikan warnanya merah juga untuk kali pertama ku baca sinopsisnya ntah atas alasan apa pelupuk mataku terasa berat (saat seperti ini aku tak yakin banyak orang percaya jika ku ceritakan akan hal ini, "perempuan sedikit ekspresi bisa berekspresi hanya karena sebuah buku" kalau dikenang sendiri juga terasa lucu). Aku katakan pada dunia "Aku pasti akan cemburu saat membaca perjalanan dan pencapaian hidup mereka" (pernah melihat wawancara eksklusif dengan BJ di salah satu stasiun TV swasta tentang buku ini, tak sanggup dengar dan lihat sampai selesai).
Januari sibuk menamatkan Novel 'A Thousand Splendid Suns' (gak seberapa lama sih, biasalah kalau sudah memulai pasti kecanduan untuk segera menamatkan, sekarang rehat dari baca e-book (PSP kandas)). Membaca novel itu, aku merasa dibawa berayun-ayun dari tertawa, hampir menangis sambil tersenyum. Terkadang aku bermain-main dengan salah satu tokoh di dalamnya "bagaimana jika aku diposisi itu?". Aku sempat melupakannya, tapi saat berita-berita di tv atau radio menggulirkan kabar pergolakan massa di kairo, Mesir yang menentang pemerintahan yang bertahan selama 33 tahun dibawah kepemimpinan Husni Mubarak (menurutku wajahnya kharismatik), dan banyak isu menunggangi peristiwa itu dari campur tangan luar negeri sampai pergerakan kaum mujahidin (saya tidak tahu dan tidak berusaha mengerti) mampu menarikku kembali ke novel itu. Berapa banyak kepala cemas (seperti gambaran novel itu). Lalu gak sengaja liat email dari teman yang terlewat ku baca, ntah kapan dia kirimkan itu aku lupa, isinya ternyata link pemerkosaan terhadp perempuan iran oleh beberapa tentara, miris. Konsekuensi dari sebuah perubahan. Membaca dan melihat semua itu aku jadi bersyukur setidak dihargainya perempuan dinegaraku tapi masih mempunyai hak untuk melawan. Melihat dari tokoh takohnya, aku salut untuk penulisnya (karakter tokoh disini tak digambarkan begitu luar biasa dan masih bisa dicapai logikaku (tidak terlalu pintar, tidak terlalu kaya, tidak terlalu cantik/tampan, tidak dibuat terlalu menonjol dibanding yan lain), Kalau ditanya siapa tokoh yang buatku berkesan ku jawab semuanya, kalau ditanya siapa tokoh yang paling aku sukai, ku hanya bisa diam. Semuanya menarik :
ibunya mariam dan jalil; aku belajar tanggungjawab atas salah-salah yang di perbuat
dari guru mengaji mariam; aku belajar pengabdian
dari ketiga istri jalil;aku belajar memanusiakan diri sendiri
dari adik tiri mariam; aku tau yang polos itu yang kecil
dari rasyed; aku belajar berhati-hati dengan kebaikan orang
dari toriq; aku mencoba melihat cinta dan logika
dari mariam; aku melihat ke ikhlasan
dari laila; aku melihat kekuatan berpikir
Perempuan tidak selembek agar-agar, kalau novel ini bisa menggambarkan wanita-wanita kuat ini, bukan tidak mungkin diluar sana masih lebih banyak lagi yang lainnya.
Belum lama pergolakan di mesir, di Libya ikut memanas. Dari layar kaca terlihat lebih mengerikan (setting Novel lebih mendekat di Libya). Aku takut!
***
Dihari jadi Aku tak menerima satu bingkisan pun (Versi;lebay). Gak setragis itu keadaanya, Sebelum hari H, sudah ada bingkisan kuning dari kakakku yang sudah ku buka sebelum waktunya. Dari bapakku, aku diberi helm sepeda juga sebelum hari H. dan bingkisan-bingkisan kecil tanpa bungkus dari orang-orang sekitar. Tahun ini aku hanya tidak bisa memberi apa pun pada siapa pun termasuk Ibuku, rasanya sedih. Karena lupa atau sibuk yang tak mau ku ambil pusing, hanya beberapa teman dekat yang memberi ucapan. Itu saja cukup untuk membuatku berterimakasih, Hal lucu tiap kali mereka memberiku ucapan dan berbagai macam doa satu doa yang selalu ku tolak "Panjang umur ya", lucu bahkan aneh itukan kebiasaan. Semuanya tanya kenapa, aku bilang "aku ingin hidup bahagia sampai akhir hidupku dan berumur panjang bukan solusi untuk bisa hidup bahagia".
Sampai tanggal 3 Maret, Aku kaget. Seperti biasa seorang kawan kadang menyempatkan diri mampir mengajakku sekedar untuk menemaninya makan siang, begitu juga kali ini pikirku. Sampai di parkiran dekat kantor dia bilang "tunggu, nih(menyodorkan kantong plastik indomaret)", dari siluetnya aku tau itu coklat "Makasih (tanpa tau ada apa lagi)". Setelah dia putar motornya dan ku genggam plastik itu bukan lagi ku pegang sebagian, aku tau ada yang lain dikepalaku berputar perkiraan-perkiraan mungkin kartu ucapan (mau gaya), suratkah (masa sih, tulisannya kan jelek :D), ok tunggu sampai dimeja aku juga akan temukan jawabannya. Awalnya kutarik coklatnya, sumringah liatnya (mata coklatan, hahahaha.. salah ya yang adakan mata duitan). Setelah itu menarik amplopnya, "wew gak ada amplop yang lebih gede lagi nih" aku kaget, marah, kesel, kecewa pingin langsung nangis liat isi didalamnya lima lembar alat tukar tunai berwarna merah bergambar soekarno-hatta. Ingin langsung menelponnya atau membahasnya lewat sms atau chat atau e-mail tapi urung ku lakukan, rasanya tak pantas lagi pula kepalaku penuh dengan emosi yang keluar dari mulutku pasti sampah nanti. Ku kirimi dia pesan untuk singgah ke kantor jam berapa pun dia bisa, walau berarti aku harus memberi alasan ke kantor untuk keluar. Terimakasih coklatnya mampu menguatkan hati untuk tidak berpikir yang tidak-tidak akan dirinya. Aku tidak merasa tersinggung atas yang diberinya, yang lain juga pernah memberi atau Bapakku atau rekan-rekan kerja tapi aku tau mereka memberi atas alasan apa. Bahkan tanpa diminta penjelasan, mereka memberitahu alasan memberi, biasanya untuk jajan aja atau sangu waktu masih bolak-balik ke kampus. Tidak pernah yang seperti ini, tidak pernah ada amplop segede gaban, tidak pernah tidak ada alasan, sebelum ini semuanya rasional. Aku berpikir apa ini? untuk apa? hadiahkah? tak adakah yang lebih pantas? setidaknya harus ada penjelasan untuk semua ini? apa ini caranya menilaiku? apa ini bayaran atas 60 atau 45 menit ku bersamanya (kalau iya, lain waktu aku yang beri tarif)?
Jumat jam 3 sore dia sampai di tempat yang ku janjikan. Setengah jam bersama tanpa ada apa-apa. Dia tanya, ada apa? yang ku jawab dengan menyodorkan amplop itu di meja dan balik bertanya, jelaskan ini? jawabnya gak ada, gitu aja, aku kasih ke kamu, sudah, tau gini aku gak akan datang ke sini, abis liat-liat gak tau mau ngasih apa yang udah itu yang ada (Kira-kira baca kalimat ini gimana rasanya). (Dari kemarin ku niatkan untuk mengembalikan amplop ini atau ku buang sekalian, aku gak perduli) Aku minta diri untuk balik kekantor, dia bilang kita sama-sama aja, dia sempat memintaku menerimanya dan mengucapkan maaf (bukan kata maaf yang ku cari, aku tak menyimpan atau berpikir negatif akan hal ini). Sampai kami diluar dia gak berusaha memegang amplop itu sedikitpun (aku mengerti, bukan laki-laki kalau dia mau ambil apa yang sudah diberinya), Aku kesel. Kalau saja bukan dia yang memberiku, aku tak peduli uang itu ditinggal dimeja itu. Kalau saja saat dia datang kutak menangkap bau matahari yang melekat ditubuhnya, aku juga tidak mau mengerti. Kalau saja aku sanggup membuat diriku malu dimuka umum, mungkin aku akan berteriak. Untuk kali pertama aku sungguh tak menyukai kata "Kalau". Sampai saat ini lembaran-lembaran itu masih tersimpan di amplop dalam tasku, dan sampai saat ini aku tak tau akan ku apakan atau malah sampai kemudia hari tidak akan pernah aku apa-apakan, karena kenangan hanya segitu nilaiku dimatanya. Untuk perhatiannya, Aku berterimakasih karena aku tau pasti jauh di hati dan kepalanya ada alasan baginya untuk memberiku ini semua yang tak mau atau tak bisa dia bagi denganku dan itu hak pribadinya.
Jangan khawatir menulis ini semua sudah jauh dari rasa marah. Satu minggu sudah berlalu dari saat kejadian itu, cukup waktu untuk membuatnya terkunci di satu buku hatiku. Aku tak menyayangkan apapun yang sudah terlewati. Tiga hari setelah kejadian itu pun dia berusaha menghubungiku, tapi tidak ku respon. Harusnya aku yang meminta maafnya untuk itu :) . Aku juga yakin seminggu ini dia mungkin sesekali melintas didepan kantor ku.
maaf nya bukan untuk plastik itu,sadar siapa yang kuhadapi,sudah ke perkirakan akan ga suka,ga senang. tapi itu lah yang akhirnya ku pilih.
BalasHapusmaaf nya untuk sikap ku..sampai harus diingatkan dengan berteriak bahwa "aku cuma temen kamu". saat itu rasa nya ingin meledak,benar2 malu sama diri ku sendiri.
tetap ingin jadi temen kamu,walau belum tau cara nya harus bagaimana.