Minggu 6 Juni 2010, Selesai ngerjain apa yang selayaknya dikerjain.. jam 10 tidur, bangun untuk ketemu Dia. Terus keluar kepikiran mau liat setu babakan dengan kampung beawinya, modal info dari uncle google untuk sampai kesana. Kepincut buat singgah ke kedai yang beberapa bulan yang lalu belum sempat di datangi sewaktu minta tanda tangan dosen ke Margonda, Waktu itu batuk-pilek membatasi buat minum es. Hahaha.. tergelitik juga waktu sampai disana, Gak ada menu yang bener-bener bikin jatuh cinta. Belom bilang ya nama kedainya? 'Es pocong' 200 m' dari BSI margonda diseberang jalan dekat gang Kampus Guna Dharma kalau gak salah sampingnya rental buku/komik.
Yang seperti ini diriku,Mas. Tak benar-benar tertarik atau tak tertarik pada sesuatu, hanya tak ingin kecewa dengan keinginan-keinginan yang belum tentu mau aku usahakan atau ku dapatkan tanpa timbal balik dan perencanaan, yang kalau dalam bahasamu bermain aman. Biasanya kemana-mana aku bawa cermin, mas. Jadi seandainya bertemu sesuatu yang menurut ku menarik aku bisa melihat kemampuanku dulu untuk mengusahakannya.
Mungkin menurut mu ribet atau malah konvensional, tapi ini pilihan ku. Seperti kedai itu, mungkin kalau seketika itu ku singgah mungkin tak menjadi momok yang bisa menguak kapan saja tapi lebih mungkin aku bisa berhari hari dalam kamar dengan suhu badan tinggi. Aku tak ingin membahayakan tubuhku, yang mengerti tubuh kita sungguh hanya kita. Bener gak sih?
Pulang agak malam, Bersihin badan, buat coklat panas, duduk di muka rumah menatap langit. Indah! lalu aku berpikir perjalananku siang tadi. Langit itu, Indah itu gratis, Kecil-besar, tua-muda, kaya-miskin semua bisa melihatnya tanpa pajak. Lalu mengapa banyak orang masih merasa kurang, terus bergerak maju. Tak salah memang, tapi salah ketika saat maju ada saling sikut, saling khawatir. Sedang beberapa yang lain hidupdengan kebingungannya untukdapat memberi makan anak nya sore nanti, bingung membayar uang sekolah anaknya dan ketika pulang didapati anaknya penuh harap menunggu dimuka rumah sedang disaku tak sesenpun didapat. Ini nyata, ini ada
Yang seperti ini diriku,Mas. Tak benar-benar tertarik atau tak tertarik pada sesuatu, hanya tak ingin kecewa dengan keinginan-keinginan yang belum tentu mau aku usahakan atau ku dapatkan tanpa timbal balik dan perencanaan, yang kalau dalam bahasamu bermain aman. Biasanya kemana-mana aku bawa cermin, mas. Jadi seandainya bertemu sesuatu yang menurut ku menarik aku bisa melihat kemampuanku dulu untuk mengusahakannya.
Mungkin menurut mu ribet atau malah konvensional, tapi ini pilihan ku. Seperti kedai itu, mungkin kalau seketika itu ku singgah mungkin tak menjadi momok yang bisa menguak kapan saja tapi lebih mungkin aku bisa berhari hari dalam kamar dengan suhu badan tinggi. Aku tak ingin membahayakan tubuhku, yang mengerti tubuh kita sungguh hanya kita. Bener gak sih?
Pulang agak malam, Bersihin badan, buat coklat panas, duduk di muka rumah menatap langit. Indah! lalu aku berpikir perjalananku siang tadi. Langit itu, Indah itu gratis, Kecil-besar, tua-muda, kaya-miskin semua bisa melihatnya tanpa pajak. Lalu mengapa banyak orang masih merasa kurang, terus bergerak maju. Tak salah memang, tapi salah ketika saat maju ada saling sikut, saling khawatir. Sedang beberapa yang lain hidupdengan kebingungannya untukdapat memberi makan anak nya sore nanti, bingung membayar uang sekolah anaknya dan ketika pulang didapati anaknya penuh harap menunggu dimuka rumah sedang disaku tak sesenpun didapat. Ini nyata, ini ada
Masih berjalan dikepalaku kebingungan-kebingungan yang menurutku salah. Tah sikap mental yang mana tapi menurutku ini salah. Tiba-tiba Bunda menghampiriku dengan kursi kayu ditangannya dan segelas susu ditangan yang lain. Ceritanya padaku " Yang, nenek dibelakang yang jatuh minggu lalu belum berobat. Anak-anaknya masih lempar-lempar tanggung jawab, tadi pagi di periksa dokter gratis disuruh rontgen tapi bingung gak ada uangnya. baru tadi sore tuh dibawa ke tukang urut patah tulang, kasihan (lalu diam, akupun diam)..." lalu diciumnya keningku "makasih ya sayang" ku lihat ada bulir tipis disudut matanya, aku hanya tersenyum.
Dalam diam ku dan diamnya, maafkan ku Bunda. Bukan ku gak bisa bantu tapi gak mau bantu, Bukan kapasitasku dalam masalah ini, masih ada yang berhak dan berkewajiban mengurusnya. Ku cuma ingin Bunda bisa rasa yang orang-orang rasa kalau bisa lebih. Ingin rasanya bilang 'sayang bunda sangat', tapi yang begitu bukan aku kan?! Aku hanya bisa tersenyum. Aku yang harus nya mengucap terima kasih setiap hari mungkinjuga setiap jam.
Apa ini baru saja kepikir Tukang bakso dorong di jalan tadi, rumah-rumah gerobak, pengamen, sekarang dirumah yang hanya beberapa meter jaraknya. Ini bedanya banyak orang yang lebih memikirkan hari ini daripada menyiapkan hari depan. Waktu tak selalu dapat memihak pada kita
Hati tak perlu mata untuk melihat, tak perlu telinga untuk mendengar. Besar-kecil pasti singgah dalam hati.
ini mungkin konvensional tapi ku tau tak ada yang benar-benar setia, sang waktu pun sering kali berkhianat.
Biarlah jika banyak yang menerima hidup apa adanya, tapi aku harus membuat hidupku ada apanya.
*Materi bukan segalanya tapi segalanya butuh materi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda Pikirkan