Tukar pikiran yang aneh, lewat sms atau telpon berjam-jam. Bunga suka pribadinya yang lepas. Dia, iya dia “J” mengajak bunga bertemu di Soerabi Qita di pasar lama Tangerang tempat yang sederhana makanan yang sederhana, berpakaian sederhana dengan pikiran sederhana nak jumpa kawan baru. Berpikir bisakah Bunga bicara selancar apa yang dibicarakannya di telpon, mengingat pribadinya yang cenderung tertutup dan tak berapa lama Ia mengenal “J”. Bicaranya apa adanya.
***
Sabtu sore kelas bubar lebih awal, naik angkot sendiri terpikir buat makan bakso tapi ajak siapa? Semua kawan bunga tau kesibukannya masing-masing. Kenapa tak undang kawan baru ku sekalian bayar utang ucapan. Di Bakso Raja Metropolis town square, berbincang ada desir yang tak terdefinisi oleh bunga saat itu. Banyak keragu-raguan saaat itu, sangat labil. Ditawarkannya untuk mengantar Bunga pulang, Tapi ditolak bunga, bukan karena tak mau tapi ingin membatasi kedekatan.
Mendengar Komentar Bunda saat kali pertama kunjungannya, mendengar cerita pribadinya dari tri, melihat kesehariaannya. Disadari bunga tumbuh rasa takut, Takut kalau-kalau sungguh tertarik, takut kalau-kalau bunga tak bisa melepasnya.
***
Bunga, gadis sederhana dengan harapan sederhana tapi tak biasa, selalu dapat menempatkan teman laki-lakinya diporsi yang bunga inginkan. Semua teman laki-lakinya hanya mendapat tempat diteras hidupnya, tak diijinkan seorang pun masuk tanpa sinyal persetujuan dari bunda. Dan kali ini bunga tergelincir, walau perlahan bunga coba untuk berdiri di pijakan nya lagi, tapi bunga tetap menikmati proses tergelincir ini (ntah bodoh atau egois).
Bunga ajak dia (call him “J”) bicara banyak hal, mencari tau pribadinya, mencoba mencari celah antara “J” dan keluarganya. Pandangannya tentang agama, pengakuannya akan apa yang dipercayainya bahkan yang diyakininya, melihat tindak nyata dari ucapannya. Kalau tak salah ingat
“ Tuhan itu ada, dan aku percaya tapi apa perlu kita sembah-sembah sesuai dengan yang namanya agama bukannya semua itu hanya ritual. Bukankah Tuhan itu satu apakah harus kita mengikat diri pada satu agama, bukannya Tuhan punya bahasa universal kenapa tidak kita lakukan dengan cara kita masing-masing”
Bunga tanyakan “lalu di KTP mu agama pa yang tercatat? Lalu apa kata keluargamu?”
“J” menjawab diplomatis
“ Birokrasi di Indonesia Belum mengijinkan untuk melakukan penghapusan agama di KTP atau identitas lainnya. Keluarga ku gak tau apa-apa, aku belum seberani itu. Tapi mereka tau aku jarang sholat”
Bunga terlahir dalam keluarga mengerti agama setidaknya lingkungan dimana setiap kepala mengerti apa yang mereka yakini dengan segala konsekuensi. Atau bagi bunda ingin mencetak pibadi yang baik yang bisa Ia banggakan di keluarga ayah, toh sedikit banyak bunda yang berperan dalam hidup bunga. Pesan yang ditanam Ayah-Bunda
“Mama bawa kamu belajar mendalami agama di pagi bahkan terik jika tak ada lagi senja juga mama antar, tolong jadi anak yang sholeha buat mama. Siksa kubur mama akan ringan kalau punya anak sholeh/sholeha. Anak yang bisa denger kata-kata mama Cuma kamu. Kalau nanti punya suami cari yang bisa ngajarin kamu, membawa kamu tetep baik”
Dengan ingatan itu, bunga tak sanggup menariknya kehadapan bunda, walau dengan tersirat di ucapnya apa yang di kepalanya.
“ Cari yang kamu mau, kalau ketemu yakini jalani. Kita gak bisa hidup kok tanpa aturan”
Dengan mengerti Agama, attitude bisa berubah intonasi kata bisa berubah tingkah pola bisa berubah, sedikit harapan di kepala bunga.
***
Dilain kesempatan di ajaknya “J” bicara hidup secara real, Caranya memandang hidup, caranya menyikapi hidup. Bunga tanya “ Kenapa kudanya gak diganti?”
Luar biasa jawabanya jika benar itu yang dipikirkan
“ Kenapa mesti diganti? Masih bisa jalan, diganti buat gaya-gayaan biar bisa dibilang bisa beli, biar keren gitu, emang masalah dibonceng pake ini”
Ngedenger itu ngerasa kena tampar, ngerasa jadi bukan apa-apa. Hari gini dengan pergaulan dengan kemudahan memperoleh barang bagus, masih ada yang berpikir seperti ini luarbiasa. Kutanya “emang Kuda ini siapa yang beli?”
“Bapak”
Kok Kagumnya hilang ya. Statementnya gak singkron, Hmm ..ternyata masih bangga juga pake pemberian orang tua. Gak ingin kalah bunga bilang
“Aku gak peduli kamu pake ini atau mobil sekalipun buatku gak akan bisa membuatmu dimataku terlihat lebih baik atau bahkan lebih buruk. Tapi bukannya orang tuamu punya alasan membelikan sepeda motor itu buat mu? Adikmu dibeliin gak? Bukannya lebih bertanggung jawab kalau kamu beli yang baru biar yang ini bisa dipake adik mu sampai dia juga mampu membeli sendiri? Gitu gak sih?”
Tah apa yang saat itu “J” pikirkan. Tapi dijawabnya dengan kata “Iya”. Ntah yang mana yang spekulasi penjelasan panjangnyakah atau kata pendek itu.
Bunga mengambil resiko dengan kemungkinan cap matre yang akan diberi “J” untuknya. Tapi bunga tak peduli, jika benar itu dipikirkannya toh yang menikmati “J” bukan bunga. Yang bunga piker adalah cara agar “J” mengerti posisinya tanpa harus cerita secara gamblang. Bunda dari keluarga berada menurut cerita semua berantakan setelah Mbah Putri dan mbah kakung berpisah tempat tinggal, walau tidak bercerai. Sampai mbah kakung meninggal dan mbah putri tidak mendapat peninggalannya juga putra-putri nya. Tumbuh dibawah tekanan mbah putri, Bunda Kenal ayah yang ternyata anak dari keluarga berada di tanah
Cerita ini membuat bunga sampai saat ini merasa miris, itukah bentuk keluarga yang sesungguhnya. Keadaan itu sudah berpuluh tahun terjadi saat semua masih muda saat aku belum melihat dunia. Semua hal dikuluarga itu sekarang telah banyak berubah seiring dengan bertambahnya usia.
Cerita itu bukan cerita sedih buat bunga tapi motifasi, motifasi untuk membuat bunda setara mereka, motifasi agar bisa memberi kehidupan layaknya keluarga utuh lainnya. Sebisa mungkin bunga dahului kebutuhan Bunda.
Mendapati orang yang bunga sayang diperlakukan serupa itu membuat luka yang tak kunjung kering. Dan Bunga mulai sayang dengan “J”, tak ingin “J” mendapat perlakuan serupa itu dan jauh melukai hati bunga sendiri. Bukankah semua yang terlihat itu yang nampak
Sadar keluarga kecilnya sedikit banyak masih berpikir konvensional, bukan laki-laki kaya yang diharap dapat mendampingi bunga tapi laki-laki yang bertanggung jawab dan berpikir maju dengan mengerti lingkungannya. Hal yang selalu bunga ingatkan “tinggalkan aku”.
***
Tapi tak bisa dielak bicara dengan sosok “J” membuat bunga merasa hidup, merasa didengar bukan sekedar mendengar, merasa ditunggu bukan sekedar menunggu. Ntah dari mana bunga menjadi ketrgantungan mendengar kabarnya bahkan memberi kabar.
Tanggal 8 februari 2009 dengan teman menuju Dufan, bicara dengannya tak membuat bunga risih. Ntah mengerti kata-kata yang keluar dari mulut kecil bunga atau sekedar mendengarkan.
***
Hari apa tak tau, sama Oby traktir fitri makan steak di Obonk jl. Raya serpong, “J” Bunga undang tuk datang, semua terkejut dan itu wajar. Kerumah Fitri, berakhir di depan mayapada hospital tak mengiyakan tapi tak juga menolak, bibir hangatnya mendarat dibibir kecil bunga. Samapi saat ini mengingat itu, masih ada desir yang tak bisa dijelaskan. Tak mengerti apa yang dirasa “J”.
***
Banyak tempat yang tak pernah dikunjungi, menjadi kunjungan.
Pantai Tanjung pasir yang penuh ingatan choki-choki.
Lapangan Ahmad yani, Musolanya
Pinggir Kali dengan larutan kaki tiga rasa melon
Monas dengan permen karet
Dak kampus Otista dengan matahari
Dak kampus Daan mogot dengan teh botol
Taman
Dankin Donut’s Ramayana dengan coklat panas plus donat kacang
Roti Bakar 88 pinggir kali dengan pisang bakar aneh
GOR tangerang dengan kaki
Halte “?” dengan kaki
KFC Daan Mogot pake angkot
….
“Nanti kalau ingat ditambah”
beneeeeer kan. tak membela diri tp tak juga mengelak.
BalasHapushanya sesali cara kita berkomunikasi dan melihat cara mu menyimpulkan
tp nice kok : )
tak bilang banyak berubah setelah kenal bunga,tp kasat mata memang demikian,banyak rasa,perspektif baru yg bisa dilihat saat ini.
BalasHapusminta doa nya,biar mudah langkah ku,turun gunung lagi,berkeringat lagi,sudah terlalu lama berdiam di rumah.
need more passion..
"Minta Doa nya" hahahhahaha..bercanda dia...
BalasHapus: )
BalasHapus